Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rumah Nomer 34

Kurang lebih tujuh belas tahun yang lalu aku datang ke sini.
Kota yang begitu asing bagiku. Namun, seingatku masih begitu sejuk karena banyak pohon yang tumbuh. Aku tidak begitu ingat dan belum benar-benar tahu bagaimana rasanya pindah. Apakah aku sedih karena terpaksa meninggalkan kampung halaman--tempat di mana aku dilahirkan? Atau apakah aku malah bahagia karena akan memulai kehidupan baru di tempat lain yang barangkali lebih baik? Entahlah. Aku tak ingat dengan pasti. Aku hanya ingat tahu-tahu aku ada di rumah baru bukan lagi di rumah eyang, aku tahu semua itu karena melihat dari album foto yang masih mama simpan dengan rapi.  
Terus terang, terkadang aku pun masih diliputi heran. Mengapa ingatan aku sewaktu kecil terasa begitu pendek? Tak banyak kejadian dan kenangan yang aku ingat dengan jelas. Semuanya samar. Hanya segelintir hal saja yang berhasil aku ingat dengan jelas. Sialnya, justru perisitiwa traumatis lebih membekas dibanding kenangan masa kecil lainnya yang bisa saja menyenangkan. Ah, menyebalkan!

Meski begitu, anehnya samar-samar aku ingat kenangan bersama rumah ini. Walau memang terasa seperti potongan puzzle yang harus dengan sabar aku susun satu persatu. 

Rumah yang selama ini kutinggali bernama rumah nomer 34. Aku pindah ke rumah ini saat masih kecil, sementara adikku masih bayi. Setelah pindah, aku menjalani masa taman kanak-kanak dan sekolah dasar layaknya anak lain pada umumnya. 





Mama memasukanku ke sekolah yang lokasinya tak jauh dari rumah. Katanya biar lebih mudah diawasi. Bahkan, kebiasaan itu berlanjut sampai aku di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Aku tidak pernah masuk ke sekolah yang jauh dari rumah, pasti selalu dekat dari rumah. Tidak perlu naik kendaraan, hanya perlu berjalan kaki hitungan menit dari rumah. 

Semasa itu, aku tidak punya banyak teman, tidak pernah lebih dari 10 orang. Sepertinya bakat introvert aku sudah terlihat dari kecil. Hehehe. Sejak dini akhirnya aku merasa pertemanan itu yang terpenting adalah kualitasnya, bukan hanya kuantitas.

Masa kecilku layaknya anak kecil pada umumnya. Terasa lepas. Walau seingat aku juga sesekali penuh beban karena satu dan lain hal yang terjadi, tapi seperti mudah saja hilang saat aku pergi bermain dan tenggelam dalam asyiknya kebersamaan dengan kawan sebaya. 

Bermain. Tertawa. Bahagia. 
Kadang sesekali menangis juga akibat dijahili oleh teman sekelas yang nakal atau karena bertengkar dengan teman main di lingkungan rumah karena masalah receh khas anak kecil. 

Kembali lagi ke cerita tentang rumah ini. Berkat album foto yang keluarga aku miliki, aku jadi masih mengingat jelas kalau saat itu rumah no.34 masih memiliki berbagai tanaman di halaman. Favoritku saat itu adalah pohon asoka dengan bunganya yang berwarna merah kala mekar. Dan satu lagi anggrek merpati berwarna putih yang tumbuh di batang pohon rambutan. Setiap mekar selalu tercium aroma yang harum. 

Pohon rambutan dan pohon jambu air yang rindang membuat suasana halaman rumah jadi terlihat begitu asri dan sejuk. Tentu aku di masa kecil senang punya lahan bermain yang luas. Walau sejujurnya aku juga tidak begitu ingat rasa senangnya seperti apa. Hehehe. 

Kehidupan baru di rumah no.34 terasa mengalir begitu saja. Ada banyak kenangan yang telah aku jalani di rumah ini. Kenangan manis, pun kenangan menyebalkan.

Rumah no.34 begitu nyaman bagiku. Aku betah sekali tinggal di rumah no.34. Walau banyak orang yang bilang rumahku ini kalau dilihat dar luar tampak  sedikit menyeramkan. Di dalam rumah, meski siang hari itu gelap dan suasananya sepi. Jika orang melihat dari luar rumah, sering dikira tak berpenghuni. Padahal di dalam rumah, penghuninya sangat aktif berkegiatan. 

Walau beberapa kali pernah dirumorkan sebagai rumah dengan suasana menyeramkan oleh tetangga sekitar dan para kenalan yang baru pertama kali bertamu. Namun, sebagai penguhuni rumah justru aku merasakan hal yang berbeda. 

Setiap jengkal yang ada di dalam rumah no.34. Setiap ruangan yang ada di dalamnya. Penuh dengan banyak kenangan. Jadi, sama sekali tidak menyeramkan. 

Tujuh belas tahun aku tinggal di rumah ini. Tujuh belas tahun aku seperti menyatu dengan segala hal tentang rumah ini.
Maka, ketika aku "terpaksa" pindah dari sini, ada perasaan berkecamuk dalam dada aku. Sedih. Tak rela. Dua perasaan itu yang paling dominan. 

Aku tahu rumah termasuk benda mati. Tak memiliki perasaan. 

Entah mengapa aku malah merasa rumah no.34 "hidup". Rumah ini seakan punya "nyawa". Aku telah menyatu dengannya selama ini. 

Aku kira semua itu karena memang segala kenangan dan cerita yang telah "dihidupkan" selama keluargaku tinggal di rumah no.34. 

Rasanya berpisah dengan dia yang sudah selama tujuh belas tahun menemani perjalanan kehidupanku, benar-benar tak rela. 

Tujuh belas tahun telah aku lalui bersama rumah ini. Dari aku yang bahkan tak bisa mengenal diriku sendiri. Aku yang bahkan tidak tahu arti pindah dan memulai kehidupan yang baru. Aku hanya seorang anak 3 tahun yang mengikuti saja ke mana pun orangtuanya pergi. 

Tahun demi tahun berganti. Tanpa kusadari, aku tumbuh bersama rumah ini dan kenangan di dalamnya. 

Teman-teman rumah yang selalu senang main ke sini.  Insiden dahi adikku yang 'bocor' dan harus mendapat beberapa jahitan akibat terjatuh saat bermain bola denfan tetangga karena lantai yang licin sehabis fogging. 

Padahal aku melihat sendiri kalau kaki adikku disleding oleh anak tetangga. Dia panik dan tidak mengaku, malah menyalahkan lantai yang licin. Saat itu aku kesal sekali karena sikap tidak bertanggung jawabnya, padahal usia dia lebih tua dariku dan adik. Bukankah seharusnya mencontohkan sikap yang baik? Sejak saat itu, aku kurang suka dengan dia. Dia selalu tampak jahat saja di mataku.

Walau begitu,  tapi kami bertetangga cukup lama. Baru sekitar beberapa tahun yang lalu mereka pindah.
Rumah no.34 memang punya kesan yang dalam untukku sejak kecil. Rumah ini jadi saksi bagaimana aku bermain dengan riang di sini dan bagaimana aku bertumbuh dewasa. Acara-acara keluarga yang pernah ada di sini; entah itu perayaan ulangtahun, syukuran ulangtahun, syukuran sunatan adikku, siraman nikahan om aku, dan acara lainnya. Berbagai tamu yang pernah mampir ke rumah selama ini. 

Teman-teman yang selalu betah setiap main ke sini karena halaman dan teras yang luas. Benar-benar cocok untuk dipakai bermain lari-larian dan kejar-kejaran. 

Belum lagi saat dahulu aku dan teman main pernah terkena demam bollywood. Aku bersama ketiga temanku selalu menirukan tarian yang ada di salah satu adegan film Kuch Kuch Hota Hai. Persis pada bagian Rahul, Anjeli, dan Tina yang tampil menyanyi dan menari bertiga saat acara kampusnya. Hehehe. Sementara teman yang lain yang kebetulan ikut bermain bersama setiap sore, hanya menonton saja. Kadang-kadang juga mereka asyik sendiri bermain.

Hingga kini film Kuch Kuch Hota Hai adalah film favorit aku sepanjang masa. Selain karena memang filmnya bagus dan menyentuh, film itu juga mengingatkanku akan kenangan masa kecil bersama teman main yang saat ini entah ada di mana sekarang.


Beragam kenangan. Setiap hal. Apa pun itu. Setiap jengkal yang ada di rumah no.34 ini rasanya begitu berarti untukku. Kenangan yang ada selama tujuh belas tahun, tak bisa begitu saja terhapus dalam sekejap. 

Aku suka rumah ini. Aku suka tinggal di sini. Di sini aku nyaman. Di sini akses ke mana-mana sangat mudah (dan ongkos kendaraannya pun sungguh terjangkau). Lebih daripada itu, di sini separuh jiwaku rasanya sudah menyatu dengan rumah ini. Serasa tidak terpisahkan. 

Aku tahu, setiap hal bahkan perubahan sekalipun pasti menyapa setiap orang. Kali ini, akulah yang mendapat gilirannya. 

Aku tahu, aku tak bisa berbuat banyak untuk menghentikan perpisahan. Namun, aku yakin akan selalu mengingat bahwa rumah no.34 pernah menjadi bagian dari perjalanan  hidup aku dan tersemat dalam ingatan dan kenangan. 

Semoga di rumah baru dan lingkungan baru nanti aku dapat menemukan kenyamanan yang sama. Meski mungkin tak akan benar-benar sama, tapi semoga apa pun itu akan jauh lebih baik.
Sampai jumpa lagi, rumah nomer 34.
Terimakasih untuk tujuh belas tahun yang begitu berharga ini.

*** 

Tulisan di atas, kutulis di catatan facebook pada 8 Juni 2016. Ada beberapa bagian yang memang aku sunting dan tambahkan saat menyusun tulisan ini secara utuh. Setiap dibaca kembali, rasanya begitu mengalir seiring kenangan yang aku kumpulkan kembali kemudian berusaha aku susun dengan rapi. 

Terus terang, aku lupa alasan menulis catatan itu. Mungkin salah satu alasannya karena aku sudah punya firasat kalau sewaktu-waktu pasti akan tiba saat untuk berpisah dengan rumah no.34 dan pindah ke rumah yang baru. Iya, sudah sebegitu persiapannya, ya? Sampai-sampai sudah membuat sebuah tulisan khusus pula. Hehehe. 

Bagiku apa pun yang terjadi dalam kehidupan aku adalah berharga dan aku tidak mau dia hilang begitu saja dari ingatan. Akhirnya tercetus sebuah tulisan aku untuk rumah no.34. 

Sekitar hampir 5 tahun berselang dari tulisan itu dibuat, kejadian yang selama ini aku takutkan benar-benar terjadi. Sialnya, semua itu bukan mimpi buruk belaka. Aku tidak bisa terbangun dari mimpi itu karena semuanya adalah kenyataan. 

Aku benar-benar harus berpisah dengan rumah no.34 yang selama ini aku sayangi dengan sepenuh hati. 

Saat menulis bagian ini, hanya tinggal menghitung hari. Kurang dari lima hari lagi, kebersamaan antara aku dan rumah no.34 akan benar-benar usai. 

Semakin melihat kalender, semakin aku merasa tidak tenang, perasaanku semakin hancur. Sedih sekali rasanya. Terlebih saat keadaan seluruh ruangan ini hampir kosong. Rasa hampa semakin menyesakkan dadaku.

Aku benar-benar tidak pernah membayangkan akan mengawali tahun ini dengan melepaskan rumah yang selama bertahun-tahun telah ditempati. 

Perpisahan memang selalu menyakitkan. Beberapa kali aku sadar sebuah kemungkinan mutlak yang tak bisa ditolak. Sewaktu-waktu pasti akan pindah rumah, tapi aku selalu berharap hal itu tidak terjadi cepat. Aku berharap akan bisa terus tinggal di rumah no.34 selama mungkin yang aku bisa. 

Kupikir berpisah dengan rumah ini terjadi saat aku memulai kehidupan baru setelah menikah nanti. Kupikir perpisahan dengan rumah ini terjadi setelah aku mengadakan acara penting hidupku (entah mungkin lamaran, siraman, pengajian, bahkan sampai pernikahan?).  

Ehehe, ya begitulah, saking begitu sayangnya dengan rumah ini, sampai-sampai keinginan itu sudah bersemanyam dalam hatiku. Aku ingin rumah ini benar-benar menjadi saksi perjalanan seluruh kehidupanku. Ya, kupikir begitu.

Lagi-lagi, manusia hanya bisa berencana dan berharap, tapi toh ternyata Tuhan-lah yang menentukan juga. 
Semua itu hanya menguap jadi harapan. Dan itu memang jadi salah satu alasan rasa sedih yang kurasakan juga.


Mama bilang kami susah pindah dan tinggal di rumah No.34 ini sejak tahun 1997. Sudah 24 tahun berselang. Selama itu memang telah ada perubahan yang terjadi di rumah. Entah tata letak ruangannya, furniture, dan lain halnya. Selama itu pula banyak kenangan yang sudah terjadi. 

Mungkin saat ini sudah cukup waktunya bagiku dan keluarga bersama rumah no.34 ini. Kebersamaan kami sudah usai. 

Saat aku mengabadikan setiap ruangan di rumah no.34 untuk disimpan jadi kenangan terakhir dalam foto, hatiku rasanya berkecamuk. Mataku memanas, tanpa sadar air mata kembali jatuh. Entah berapa kali aku menangisi kenyataan pahit ini. 

Tiba-tiba saja berbagai kenangan terputar dalam pikiranku. Selama lebih dari dua puluh tahun banyak cerita dan kenangan yang sudah dialami bersama rumah ini. Setiap sudut rumah no.34 ini menyimpan banyak kenangan. 

Dahulu rasanya semua yang pernah terjadi saat itu hanya dianggap sebagai kegiatan dan rutinitas biasa. Namun, kini semua itu meninggalkan perasaan sedih di hati. 

Aku pernah tertawa penuh canda bersama keluarga, mengobrol santai, sampai aku sering pergi ke dapur di tengah malam karena lapar.

Aku juga ingat saat adikku kecelakaan beberapa tahun silam, dan keluargaku terpaksa seperti "mengontrak" di rumah sakit karena harus membawa baju dan beberapa keperluan dari rumah untuk menginap di sana kurang lebih selama dua minggu.

Saat itu orangtuaku tidak bisa pulang karena harus menemani adik yang masih menjalani perawatan intensif. Dan jarak antara rumah dan rumah sakit yang cukup jauh.

Beberapa kali terpaksa sendirian di rumah dan sebanyak itu pula aku menangis kencang dalam keheningan. 
Saat itu dua hal yang dirasakan; rindu keluargaku dan rindu ramainya rumah. 

Aku juga sedih sekali setiap mengingat  kondisi adikku saat itu, terlebih dia sempat koma selama dua hari di rumah sakit dan saat sudah lepas masa kritis pun masih belum benar-benar sadar sepenuhnya. 

Setiap malam, aku menangis sesenggukan sendirian. Rasa sedih, rindu, dan kesepian benar-benar menyesakkan dadaku.

Hanya suara tangisku sendiri yang kala itu mengisi keheningan rumah. Meski merasa kesepian dan sedikit terasa "iseng" karena sendirian di rumah, tapi alhamdulillah rumah no.34 selalu baik menemani. Tidak ada hal aneh-aneh dan horor yang terjadi saat aku sendirian di rumah tanpa ada seorang pun yang menemani. 

Oh, iya, ada pula cerita lucu yang terjadi beberapa tahun lalu juga saat sebungkus kuah bakso malang yang  kubeli pernah berpindah tempat sendiri secara misterius. Awalnya kukira hilang. Rasanya frustasi sekali mencarinya ke mana-mana. 

Lucunya, baru ditemukan keesokan paginya di tempat yang seharusnya mudah terjangkau oleh mata. Walau sempat membuat kehebohan karena keanehan itu, tapi tidak pernah membuatku merasa tidak betah. 

Aku juga masih ingat saat kucing liar yang kebetulan sering main ke rumahku dan kuberi nama Onet melahirkan 3 ekor anak kucing yang sayangnya hanya bertahan satu. Anak kucing itu berwarna oren. Kucing yang awalnya sangat penakut itu kuberi nama Cocobi. 

Kucing sebatang kara yang aku rawat dan kusayangi seperti anakku sendiri. Lumayan lama Cocobi bertahan bersamaku dan jadi satu-satunya kucing paling lama yang bersamaku, sekitar 3 tahun. Walau tidak benar-benar memelihara Cocobi dan menjadikannya kucing rumahan di dalam rumah, tapi aku merawat Cocobi sepenuh hati. 

Saat Cocobi sakit, aku panik dan merawatnya sebisaku. Bahkan, sempat juga kubiarkan Cocobi tidur bersamaku di kasur. Setiap pagi, Cocobi selalu datang ke kamarku membangunkanku kalau pintu samping rumah dibuka. Walau sekarang Cocobi entah di mana dan bagaimana nasibnya, aku sudah ikhlas. 

Aku hanya bisa memanjatkan doa tulus, kalaupun Cocobi sudah tidak ada lagi di bumi, aku harap dia bahagia di surga. Kucing lucu yang selalu jadi mesin tawaku, teman yang selalu jadi pendengar yang baik setiap aku bercerita tentang apa pun. 

Selain Cocobi, ada beberapa kucing-kucing liar lain yang sempat datang juga ke rumah dan pergi kemudian. Semua kenangan bersama para kucing pun terjadi di rumah no.34 ini.

Benar-benar rumah yang penuh kenangan.


Arti rumah ini memang begitu dalam. Bagiku, rumah adalah sebenar-benarnya tempat untuk pulang. Aku salah satu orang yang sangat menyetujui kalimat itu.
Setiap aku selesai melakukan perjalanan jauh sampai ke luar kota pun salah satu yang aku selalu rindukan adalah rumah.

Hanya segelintir cerita yang bisa aku ceritakan karena ada banyaaaak sekali kenangan dan cerita yang sudah terjadi antara aku dengan rumah no.34.

Perpisahan ini membuat aku menyadari kalau apa yang selama ini dilihat dan dijalani sebagai kegiatan yang biasa-biasa saja, ke depannya mungkin akan jadi kenangan berharga yang tidak bisa aku ulangi lagi. Aku hanya bisa mengenang semua itu dari berbagai foto dan dalam memori yang tersimpan rapi dalam ingatan.

Saat menuliskan tentang ini saja aku berulang kali menghela napas dan menahan sekuat mungkin untuk tidak lagi menangis. Perasaan sedih dan kehilangan yang aku rasakan benar-benar memenuhi setiap ruang di dalam dada aku.


Aku ingin berpisah dengan rumah no.34 dalam kebahagiaan, tapi memang rasanya berat sekali untuk mengikhlaskan semua yang terjadi.

Ke depannya, aku bukan lagi jadi penghuni rumah no.34. Namun, aku akan tetap mendoakan yang terbaik untuk segalanya. Aku hanya bisa berharap, semoga segala kenangan yang tertinggal di sana tetap abadi sampai kapan pun. 


Semoga penghuni baru (dan penghuni selanjutnya) dari rumah no.34 juga punya rasa sayang yang sama besarnya seperti yang aku rasakan terhadap rumah yang penuh kenangan itu. Rumah yang jadi tempatku tumbuh besar dewasa. Rumah yang menjadi saksi dari seluruh kenanganku. Aku hanya percaya jika kenanganku terekam abadi sampai kapan pun di rumah no.34.

Semua yang terjadi memang berat, tapi aku harus tetap mengatakan ini, "Selamat tinggal, rumah no.34!"

Kenyataan perpisahaan ini pun sungguh menyakitkan. Entah akan butuh berapa lama untukku bisa move on sepenuhnya. Namun, aku teringat kalimat yang ada di buku "Manusia Setengah Salmon"-nya Raditya Dika.

"Hidup penuh dengan ketidakpastian, tetapi perpindahan adalah salah satu hal yang pasti."



Semoga kelak aku benar-benar akan mengikhlaskan apa yang (telah) terjadi dengan hati yang lebih lapang. Setelah itu, dapat mengenangnya sebagai bagian dari pembelajaran dan perjalanan hidupku dengan perasaan bahagia.

Terima kasih atas segala kenangan dan kebersamaan selama bertahun-tahun ini, rumah no.34!





Mita Oktavia
Mita Oktavia Lifestyle Blogger yang suka menulis, melukis, bermain game, dan bertualang | Penawaran kerja sama, silakan hubungi ke hello.mitaoktaviacom@gmail.com

Posting Komentar untuk "Rumah Nomer 34"