Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bagi Kita yang Berada di Masa Kini

Ujaran kebencian cyber bullying
Ilustrasi gambar (cr: freepik)


Hai, kamu. Apa kabar? Bagaimana harimu?

Rasanya sudah lama sekali aku tidak menuliskan opini dan semacam renungan lagi dalam blog. Di masa kini ternyata banyak hal-hal yang aku rindukan. Saking banyaknya aku malah tidak bisa merincinya satu persatu dengan baik. Kenangan lagi-lagi cuma bisa diingat sebagai bentuk nostalgia yang kadang-kadang kembali dikunjungi bila sedang rindu. Sialan betul memang.

Kamu pasti bertanya-tanya kenapa. Jawabanku sederhana. Semua itu karena ada hal yang menjadi pemicunya. Aku tergerak untuk menulis pandanganku di dalam postingan ini setelah memendam resah sendirian sejak lama. 

Puncaknya saat beberapa waktu yang lalu secara tidak sengaja melihat tweet di base tentang tangkapan layar dari ketikan komentar jahat dari para netizen yang menghina bayi dari seorang tokoh publik di Indonesia.

Ini bayi loh, dia lahir ke dunia dalam keadaan yang suci. Tidak ada salah apa-apa. Tidak ada dosa apa-apa. Namun, sudah dihina dengan kejamnya.

Terus terang Aku memang termasuk dalam kelompok yang kurang suka dengan tokoh itu, tapi aku bahkan tidak sampai hati tega mengomentari fisik orang lain dengan alasan apa pun termasuk dengan alasan rasa tidak suka.

Apalagi ini seorang bayi yang belum lama lahir ke dunia. Belum lama lahir sudah mendapatkan pahitnya hidup. Sedih betul aku memikirkannya. Seperti "jika memang tidak suka akan seseorang kenapa harus menyerang orang lain yang bahkan tidak memiliki salah apa-apa padamu?"

Pantas saja ya beberapa tokoh publik di Indonesia pun akhirnya lebih memilih untuk menyembunyikan wajah anak mereka di sosial media. Kamu pasti tau siapa saja orangnya. Selain perihal privasi, kurasa alasan lainnya adalah demi menjaga anak kesayangan mereka.

Meskipun aku belum menjadi orang tua, tapi aku aku yakin kalau dalam diri orang tua ada semacam naluri ingin melindungi anak-anaknya dari kejamnya dunia, tak terkecuali dari kejamnya ketikan komentar jahat. Terlebih mereka tokoh publik yang pastinya akan sulit menghindari sorotan dari media maupun publik beserta beragam komentar yang dilontarkannya.


Aku pun menyadari kalau memberi komentar, berpendapat adalah hak semua orang. Hal ini bahkan dilindungi oleh undang-undang tentang kemerdekaan mengeluarkan pendapat.

Aku menaruh rasa kagum pada netizen yang berkomentar dengan santun, runut, dan memberi pencerahan saat mengomentari sebuah fenomena dibandingkan yang hanya melempar komentar kemudian pergi berlalu begitu saja tanpa bertanggung jawab. Rasa-rasanya seperti buang angin.

Ini pun termasuk yang kerap melontarkan komentar jahat dan ujaran kebencian yang membuatku jadi bertanya-tanya tentang kemerdekaan mengeluarkan pendapat itu.

Apakah kebebasan berpendapat bagi kita yang berada di masa kini itu berarti bisa bebas mengetik kalimat tanpa saring sebelum menekan tombol publikasikan komentar?

Apakah kebebasan berpendapat berarti harus menyakiti hingga menyerang seseorang?

Sebetulnya perihal yang mirip seperti itu memang sudah ada sejak beberapa tahun lalu, bahkan aku pernah menuliskan di tahun 2015 lalu tentang keresahanku pada para pengkritik angin.

Dulu aku memberi sebuatan begitu bagi mereka yang hanya bisanya mengkritik tanpa memberikan solusi yang konkrit.

Sah-sah saja saat bersikap kritis, tapi tetap harus disampaikan dengan baik dan santun serta kalau bisa memberi pemahaman pula bagi yang membacanya. Ibaratnya ada dasar logika yang jelas, bukan hanya sekadar berpusat pada kebencian semata.

Kupikir kemajuan teknologi akan disertai dengan kemajuan berpikir dan beretika beberapa orang di internet, tapi ternyata aku salah. Ada saja orang-orang yang membuatku jadi merasa kalau dunia maya itu sangat menakutkan.

Apalagi makin hari fenomena ujaran kebencian ini makin mengkhawatirkan. Pantas saja ya ada laporan Digital Civility Index (DCI) pada tahun 2020 seperti dilansir dari Kompas(.)com yang mengatakan kalau netizen Indonesia itu paling tidak sopan se-Asia Tenggara dengan salah satu faktornya yaitu ujaran kebencian yang naik lima poin menjadi 27%.

Disadari atau tidak, kita sering gaduh dan kompak dalam menyerang seseorang lewat komentar yang dilontarkan.

Kurasa kalau masih disampaikan dengan santun sehingga masih mempertangungjawabkan makna kebebasan berpendapat. Sah-sah saja.

Tapi kalau berpendapat yang dilontarkan justru beragam ujaran kebencian dan perundungan, apakah itu hal yang benar?

Prinsip gotong royong kita yang begitu mulia dan sikap ramah tamah yang sudah mengakar sejak lama malahan jadi tercoreng maknanya karena hal-hal negatif yang seringnya tak seharusnya dilakukan di internet.

Memang kadang kala aku terhibur sekali dengan percakapan, meme, dan bercandaan netizen. Namun, di sisi lain aku sering merasa resah karena tensi negatif dan kebencian yang panasnya ini kerasa bener-bener bikin gerah saat melihatnya di sosial media.

Namun, kadang aku berpikir apakah kegaduhan yang ada di internet ini karena sebenarnya kita adalah jiwa-jiwa yang kesepian dan sebetulnya frustasi akan hidup kita sendiri sehingga butuh penghiburan?

Tapi apakah alasan itu menjadi pembenaran kala kita harus mendapat penghiburan diri justru dari hinaan pada seseorang?

Kita yang berada di masa kini dimanjakan oleh berbagai kemudahan terutama akses akan teknologi informasi. Namun, betulkah hal itu tidak dibarengi dengan kemajuan untuk memilah dan memilih sikap yang tepat saat menggunakan internet?

Kita yang berada di masa kini bisa berlindung di balik akun media sosial yang tanpa jarak, tanpa sekat bahkan kita pun dengan mudah bisa membuat akun anonim.

Tapi apakah betul kita benar-benar harus bersikap begitu mudahnya melontarkan perundungan dalam kolom komentar?

Kita yang berada di masa kini takut untuk menjadi diri sendiri dan takut menunjukan diri kita sendiri yang sebenarnya.

Kita yang berada di masa kini begitu mudahnya mengomentari fisik orang lain, bertindak seolah yang jadi yang paling tau akan hidup orang lain, bahkan sampai berkata-kata yang menyakitkan dan cenderung melontarkan kalimat jahat pada orang lain.

Kita yang berada di masa kini mungkin kerap lupa kalau ada beberapa orang yang bisa hancur hatinya, yang bisa  menangis, terluka perasaannya, bersedih, depresi bahkan sampai hancur hidupnya hanya karena komentar-komentar yang dilayangkan dengan mudahnya dari jari kita.

Bagi kita yang berada di masa kini, pernahkah kita merenungkan tentang perandaian? Seandainya hal yang akan kita lakukan itu terjadi pada kita, pada keluarga, orang terdekat, orang tersayang.

Bagaimana perasaan kita?

Apa benar kita akan merasa baik-baik saja menerima komentar jahat dan beragam ujaran kebencian?

Kita yang di masa kini masih berjuang dan kerap memimpikan dunia yang tenang, damai, dan nyaman. Tanpa kekhawatiran, kebencian, dan permusuhan.

Kita yang ada di masa kini adalah wujud dari kita yang akan ada pada masa yang akan datang. Maka, kita yang ada di masa kini mesti merenungi berbagai hal dan mulai mengambil sikap bijak yang mestinya kita lakukan mulai saat ini juga.

Postingan ini akan jadi catatan juga untuk diriku sendiri. Sebuah tulisan yang akan mengingatkanku untuk lebih bijak dan belajar untuk menghargai orang lain dalam keadaan apa pun. Termasuk di dalamnya bijak dalam memanfaatkan teknologi dan komunikasi. Ya, saring sebelum sharing.
Mita Oktavia
Mita Oktavia Lifestyle Blogger yang suka menulis, melukis, bermain game, dan bertualang | Penawaran kerja sama, silakan hubungi ke hello.mitaoktaviacom@gmail.com

Posting Komentar untuk "Bagi Kita yang Berada di Masa Kini"