Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Peran dan Tantangan Perempuan dalam Melawan Stigma Kusta

Peran dan tantangan perempuan melawan stigma kusta

Pada Rabu, 30 Agustus 2023 lalu aku berkesempatan kembali menyimak diskusi Ruang Publik KBR secara live streaming di youtube Berita KBR. Diskusi ini dipersembahkan juga oleh NLR Indonesia, sebuah yayasan nirlaba untuk penanggulangan kusta dan konsekuensinya di Indonesia. Di dalam diskusi pagi itu mengangkat tema “Wanita dan Kusta” yang dipandu oleh Rizal Wijaya dengan menghadirkan narasumber Yuliati sebagai Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYMPK) wanita serta menjabat Ketua Perhimpunan Mandiri Kusta (PerMaTa) Sulawesi Selatan. 



Peran dan tantangan wanita dalam melawan stigma dan diskriminasi kusta dalam masyarakat


Diskusi menarik yang berlangsung selama 60 menit dari jam 09.00-10.00 WIB memberikan wawasan baru lagi padaku tentang penyakit kusta, tantangan yang dihadapi OYPMK wanita, dan cerita pengalaman Yuliati mencoba berdamai dengan diri sendiri, keadaan, dan lingkungan saat pertama kali terdianosa kusta. Selain itu, ada diskusi menarik tentang peran berbagai pihak untuk menghapus stigma masyarakat tentang kusta. Ada hal menarik juga tentang ketidaksetaraan gender yang merupakan dampak kusta pada pria dan wanita.


Salah satunya, di dalam penelitian yang dilakukan World Health Organization (WHO) yang menyelidiki dampak kusta pada pria dan wanita. Dari 202 pasien kusta di Ribeirão Preto, Brazil ditemukan hasil bahwa kusta ini bisa memperburuk ketidaksetaraan gender yang ada. Diagnosis kusta juga menyebabkan stigmatisasi diri yang lebih besar di kalangan perempuan. Hal ini berdampak besar terhadap kegiatan mereka. 


Perempuan juga sering menyembunyikan penyakit ini dari keluarga mereka. Banyak sekali kekhawatiran serta ketakutan kalau mahkota kecantikannya akan hilang, terlebih penyakit kusta ini bersifat oportunistik yang tidak hanya menyerang kekebalan tubuh, tetapi bisa menyerang ke kulit. 


Berbagai permasalahan tersebut menjadikan orang dengan kusta sulit menghadapi penyakitnya, apalagi seringkali ada tuntutan kemampuan untuk mandiri dalam mengatasi penyakit mereka. Hal inilah yang sering membuat perempuan dengan kusta menarik diri dari lingkungan dan harus berjuang sendirian untuk menyembuhkan diri serta melawan stigma yang sering diterima. Maka, perlu adanya langkah mendobrak stigma kusta untuk melepas jerat tali diskriminasi dan menjadikan dunia yang setara.



Pengalaman Yuliati Sembuh dari Kusta dan Berdamai dengan Diri Sendiri dan Keadaan


Situasi tidak terduga itu pun pernah dialami oleh Mbak Yuli. Saat pertama kali menemukan gejala kusta ada pada dirinya di tahun 2011 setelah kontak erat dengan sepupunya yang kemungkinan juga terkena kusta, Mbak Yuli sempat memutuskan untuk berhenti kuliah demi menyembunyikan fakta dari keluarga dan lingkungannya bahwa dia terkena kusta. Berbagai kekhawatiran serta ketakutan menyerang pikiran Mbak Yuli. Apalagi sebagai wanita, Mbak Yuli sempat terpikirkan kalau dia tidak bisa menikah serta bisa menularkan penyakit ini ke keluarganya. Saking takutnya dan khawatirnya tidak bisa sembuh, dia pernah menarik diri dari lingkungan dan berniat untuk mengakhiri hidup karena merasa putus asa dengan penyakitnya.


Sampai akhirnya Mbak Yuli memberanikan diri untuk jujur menceritakan kondisinya pertama kali ke kakak iparnya. Akhirnya dia diantar periksa ke Puskesmas oleh kakak iparnya. Awal mulanya, gejala yang dialami Mbak Yuli hanya terdapat satu bercak lingkaran kecil mati rasa di kulit ibu jari kaki kecil. Setelah dua minggu, muncul reaksi sehingga Mbak Yuli melakukan pemeriksaan BTA skin smear (kerokan jaringan kulit) dan ternyata masih positif 10 dengan tipe Pausi Basiler (kusta kering), sehingga dia harus menjalani pengobatan lanjutan selama satu tahun. Padahal awalnya hanya butuh enam bulan pengobatan.


Cerita pengalaman Yuliati seorang OYPMK perempuan saat harus berdamai dengan diri sendiri dan lingkungan melawan stigma kusta


Dari sanalah Mbak Yuli baru tahu kalau penyakit kusta bisa sembuh asalkan harus segera diobati. Pengobatan kusta pun harus terus dilakukan sampai pasien sembuh, jadi tidak boleh terputus di tengah jalan. Saat akhirnya bisa jujur pada keluarga besarnya, kekhawatiran dan ketakutan yang pernah hadir di pikiran Mbak Yuli sirna karena ternyata sebagian besar keluarganya menerima dirinya apa adanya dan mendukung proses kesembuhannya. Bahkan ternyata keluarga tidak ada yang menarik diri dari Mbak Yuli, justru kekhawatirannya lah yang membuat dia menarik diri dari keluarga dan lingkungan.



Peran dan Tantangan Perempuan dalam Melawan Stigma dan Diskriminasi Kusta


Di dalam upaya untuk melawan stigma penyakit kusta, perempuan pun memiliki peran yang sangat penting dalam mengubah persepsi masyarakat. Meskipun menghadapi banyak tantangan, upaya yang dilakukan perempuan dalam melawan stigma kusta dapat membawa perubahan positif dalam mencapai kesetaraan gender. Langkah-langkah untuk meningkatkan akses perawatan medis, pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi bagi perempuan yang terinfeksi kusta adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan adil bagi siapa pun tanpa memandang gender.


Apalagi ternyata tidak ada perbedaan dalam penyakit kusta, laki-laki maupun perempuan berpotensi bisa terkena penyakit kusta. Perlu digaris bawahi juga kusta bisa disembuhkan asalkan cepat pula mendapat penanganan dan rutin pengobatan serta tergantung jenis kusta yang dialami oleh penderitanya. Kecepatan deteksi gejala kusta dan penanganan kusta dengan baik bisa meminimalisir resiko disabilitas akibat kusta.



Mbak Yuli vokal menyuarakan tentang informasi kusta serta edukasi bahwa penyakit kusta memang merupakan penyakit menular, tapi tidak semudah itu juga penularannya. Menurutnya, kusta bisa tertular kepada orang lain yang harus memenuhi tiga faktor berikut ini:

  1. Adanya sumber penularan kusta.

  2. Keadaan imunitas tubuh seseorang sedang turun.

  3. Faktor lingkungan yaitu kontak erat dengan orang yang mengalami gejala kusta yang terjadi secara terus menerus dan lama yang menjadi sumber penularan kusta.


Mbak Yuli juga mengatakan, berdasarkan penelitian juga dari 100 orang yang terpapar kusta, hanya 5 orang yang bisa tertular. Itu pun hanya 2 orang yang membutuhkan pengobatan sedangkan 3 orangnya ini bisa sembuh. Jadi, tidak semua orang bisa terkena kusta.

Bila menemukan atau mengalami gejala kusta, langkah-langkah yang harus dilakukan, seperti berikut ini:


  1. Segera memeriksakan diri ke Puskesmas atau melapor ke petugas kusta agar dapat dicarikan solusinya dan pengobatan yang sesuai.

  2. Jujur dan ceritakan pada orang terdekat untuk mendapat dukungan serta memutus rantai kontak erat penyebaran sumber penularan.

  3. Bila sedang dalam pengobatan kusta, sebaiknya wanita menghindari produk kecantikan berbahan kimia dan tetap konsultasikan juga pada dokter.

  4. Jangan menarik diri dari lingkungan dan jangan merasa putus asa, segera cari bantuan dan dukungan orang terdekat dan support group dari organisasi yang berfokus pada penanganan kusta.




Pentingnya Dukungan untuk Bangkit dan Melawan Stigma Kusta di Masyarakat



Selain dukungan dari keluarga dan orang terdekat, dalam melawan stigma tentang kusta di dalam masyarakat pentingnya dukungan dari diri sendiri dan komunitas pendukung. Seperti yang dialami oleh Mbak Yuli yang pada awalnya tidak bisa menerima, tapi sejak bergabung dalam organisasi Mbak Yuli mulai bisa mengubah sikap dan pikirannya. Dia jadi bangkit dari keterpurukan dan memikiki semangat juang untuk melawan stigma kusta yang ada di masyarakat.


Salah satu organisasi pendukung bagi penderita kusta bernama PerMata. PerMata merupakan organisasi dari dan untuk orang yang pernah mengalami kusta yang tersebar secara nasional di Indonesia. Di dalam organisasi, para penderita kusta ataupun OYPMK saling menguatkan satu sama lain, saling berbagi pengalaman, adanya pendidikan karakter serta pemberian informasi tentang kusta juga di dalam organisasi yang mendukung penderita kusta untuk bisa semangat dan sembuh dari kusta. Selain itu, penting juga untuk mengontrol diri sendiri lewat pikiran yang positif sehingga bisa kuat dalam melawan stigma di dalam masyarakat. 


“Saya itu sebenarnya egois, saya waktu itu cepat berpikir untuk apa saya memikirkan orang lain. Kalau dia memandang saya seperti itu, no problem buat saya. Ini kan diri saya. Saya harus maju, saya tidak boleh selalu terpuruk seperti ini karena saya kan sudah sembuh, jadi untuk apa saya selalu berpikir yang negatif tentang diri saya. Jadi saya harus bangkit. Saya bisa menerima. Waktu itu saya berpikir bahwa, ini diri saya. Kalau ada yang menerima diri saya apa adanya, saya sangat bersyukur. kalau tidak ada yang bisa, no problem. Lagian juga kan ada keluarga saya juga mendukung,” ujar Mbak Yuli.



Bukan hanya dukungan keluarga, organisasi, dan pengendalian diri untuk menjaga pikiran untuk tidak terlalu larut kekhawatiran akan stigma masyarakat, adanya sosialisasi dan edukasi pada masyarakat itu juga penting dilakukan. Hal ini dilakukan dengan tujuan demi menghapus stigma dan diskriminasi pada penderita kusta di dalam masyarakat. Baik itu dilakukan secara door to door, maupun datang juga ke sekolah-sekolah untuk memberikan edukasi dan sosialiasi pada pelajar. Sosialisasi yang dilakukan juga bekerja sama dengan dinas kesehatan setempat untuk bekerja sama dalam menghapus stigma kusta dan pencegahan kusta.


Setelah memberikan informasi saat sosialisasi dan edukasi secara langsung, Mbak Yuli dan rekan organisasi yang lain biasanya mengaku kalau mereka orang yang pernah mengalami kusta dan tidak ada masalah. Inilah yang akhirnya pelan-pelan bisa mengubah pikiran masyarakat.


Selain untuk menghapus stigma, sosialisasi yang dilakukan juga dengan harapan agar tidak ada lagi disabilitas akibat kusta karena stigma masyarakat yang membuat penderita terlambat mengobati dirinya.


Bentuk dukungan lain yang diberikan juga biasanya adanya kerja sama dengan rumah sakit dan berbagai pihak untuk mengadakan operasi rekonstruksi tangan bagi penderita kusta sehingga penderita kusta juga bisa menikmati hidup yang setara lagi tanpa disabilitas akibat kusta.


Ruang publik KBR sebagai ruang diskusi sosialisasi untuk menghapus stigma kusta

Menghapus stigma tentang kusta di masyarakat serta mencegah jumlah agar tidak banyak lagi orang yang terkena kusta tidak bisa dilakukan hanya oleh pemerintah, tapi butuh kerja sama dari berbagai pihak yang bisa mendukung dan melakukan pendampingan serta sosialisasi lewat berbagai platform, baik itu secara langsung maupun dari ruang diskusi seperti yang ada dilakukan di Ruang Publik KBR. Dengan begitu, pelan-pelan bisa menciptakan dunia yang adil dan setara bagi semua orang dan menghapus stigma dan diskriminasi yang ada bagi penderita kusta.


Mita Oktavia
Mita Oktavia Lifestyle Blogger yang suka menulis, melukis, bermain game, dan bertualang | Penawaran kerja sama, silakan hubungi ke hello.mitaoktaviacom@gmail.com

Posting Komentar untuk "Peran dan Tantangan Perempuan dalam Melawan Stigma Kusta"