Belajar Keselarasan, Kesederhanaan, dan Hidup Lebih Berkesadaran di Baduy
Cerita Pengantar dan Perjalanan Trip Ke Baduy Dimulai : Bogor - Terminal Ciboleger
Baduy menjadi salah satu daftar tempat yang pengin banget dikunjungi sejak lama. Bahkan tahun lalu, aku nyaris ke Baduy juga. Namun, entah kenapa seperti belum rezeki dan diizinkan oleh Allah buat ke sana. Jadi, aku hanya memendam keinginan dan harapan itu dan berharap suatu hari bisa ke sana. Alhamdulillah, atas seizinNya 25-26 Januari 2025 Allah akhirnya mengizinkan aku untuk bisa Saba Budaya Baduy. Inilah cerita perjalanan dan pengalamanku belajar dan mengenal lebih jauh tentang budaya, masyarakat dan lingkungan yang ada di Baduy Luar dan Baduy Dalam. Boleh dibilang itu jadi salah satu prngalaman dan kenangan yang sangat berkesan sekali di hatiku.
Semua perjalanan ini bermula dari rencana Baduy kali terbilang spontan dan memang seperti sudah jalan dariNya untuk aku pergi ke sana. Karena tanpa ba-bi-bu langsung aja terlaksana dengan begitu mulus. Ya, meski memang ada sedikit drama dengan kekasih hati karena dia menolak ikut.🤣
H-5 sebelum jadwal tripnya, tepatnya di Minggu, 19 Januari 2025 salah satu bestie aku–Uni Dzalika tiba-tiba mengirimkan pesan di instagram. Waktu itu aku yang memang di tahap sedang jarang membuka sosmed untuk alasan detox akhirnya baru membukanya beberapa jam setelahnya. Itu pun Uni sampai mengirimkan pesan ulangnya lagi. Maafkan yaa, Uni. Aku sedang slow respon.
Awalnya aku sempat ragu karena rencana dadakan ini enggak masuk ke hitungan budget aku di Januari. Setelah berpikir ulang dan akhirnya ada semacam dorongan “kayaknya memang sudah waktunya berkunjung ke Baduy deh sekarang.” Akhirnya aku iyakan ajakannya Uni dengan penuh semangat. Aku merasa semacam ada dorongan kuat untuk berkunjung ke Baduy. Kayak memang harus pergi gitu. Apalagi aku sering memanifestasikan tinggal di desa dan ingin belajar hidup berkesadaran serta detox diriku dari teknologi.
Rencana perjalanan ke Baduy ini sudah “gurih” sekali kami obrolkan. Dari mulai mau bawa apa aja, di sana sudah saling mau minta temenin kalau harus ke air untuk pup dan pipis. Pokoknya sudah terbayang akan seseru apa perjalan jauh pertama ini dengan Uni. Apalagi setelah sudah lama tidak bertemu, eh sekalinya ketemu langsung perjalanan jauh yang sampai nginep-nginep gitu. Bener-bener seru dah ye kan.Namun, lagi-lagi kita sebagai manusia hanya dapat berencana, tapi Tuhan lebih tau mana yang terbaik dari yang paling baik.
H-3 sebelum pergi, qodarullah ada kondisi yang membuat Uni gak memungkinkan untuk pergi. Terus kami sudah saling sedih-sedihan. Sudah saling menghibur satu sama lain juga. Wkwkwk. Jujur saja, saat itu sempat terbesit di pikiran kalau mau batal ikut juga, tapi akhirnya aku urungkan. Awalnya karena aku enggak berani “pergi sendirian” ke lingkungan yang baru dan asing, tapi tanpa ada yang membersamai. Memang ada Rudi yang aku kenal, tapi kayak buat kebutuhan yang bersifat tentang perempuan agak sulit kan. Ya, memang si manusia overthinking ini bener-bener deh. Padahal ternyata di sana mah nyaman-nyaman aja kok saling back up buat anter ke sungai gitu juga.
Nah, tapinya akhirnya aku tetap memutuskan melanjutkan rencana trip ini meskipun harus berangkat sendiri. Apalagi Uni berkali-kali meyakinkan aku serta ada semacam dorongan di dalam diri yang juga jadi wish list lainku kalau aku coba solo traveling. Alhamdulillah, Baduy jadi pembuka jalan untukku mendobrak keterbatasan diri dan old belief-ku kalau aku “gak mampu pergi sendiri dan berbaur dengan orang baru di perjalannan jauh”. Alhamdulillah aku bisa-bisa saja dan di sana justru jadi kenal banyak temen-temen baru juga. Perjalanan ke Baduy juga terbilang mulus karena dukungan dari Uni juga. Atas dasar tanggung jawab dan “gak enakannya” akhirnya aku tidak dilepas begitu saja. Uni memberi dukungan secara emosional dan kehadirannya yang berarti besar juga. Bahkan sampai ikut menemani mengantarkanku ke sana. Aku bener-bener bersyukur sekali Allah mengirimkan teman sebaik itu padaku setelah kehilangan satu temanku yang tiba-tiba saja memutuskan koneksi tanpa penjelasan apa-apa.
Selain batalnya Uni ikut trip ke Baduy, sebetulnya ada drama lainnya juga. Aku sempat berselisih paham juga dengan Dudul. Kami sempat bertengkar sedikit karena dia enggak mau ikut meskipun diajak dengan berbagai alasan penolakan yang men-trigger kekesalanku saat itu.🤣 Namun, qodarullah juga adik perempuannya juga ternyata masuk RS (H-1 sebelum berangkat). Jadi, akhirnya aku memaklumi ketidakikutsertaannya di trip kali itu. Sebagai gantinya, dia juga kekeuh menenami aku juga. Jadi, aku diantar oleh dua orang sampai ke Stasiun Rangkasbitung🤣
Berasa dianter emak sama bapak sih yaa. Saking dua orang terencana ini tuh khawatiran buat melepas aku sendirian ke Baduy. Namun, aku senang atas perhatian dan kebaikannya mereka mau repot-repot anterin aku. Padahal aku enggak meminta pun. Ini juga sebentuk rezeki dari Yang Maha Kuasa.
Oh iya, perjalananku ke Baduy akhirnya jadi perjalanan solo traveling pertama kalinya. Aku yang biasanya harus bareng dengan orang dikenal (dan memang syarat wajib izin dari orang tua turun pun) akhirnya mencoba pengalaman baru pergi sendiri dan belajar berbaur dengan peserta trip yang baru aku temui dalam perjalanan itu. Meskipun solo traveling kali ini memang enggak sendirian-sendirian banget juga akhirnya karena masih tetap didukung penuh sama para support system kesayanganku dan ikutan open trip dari Triphobia.id punyanya temanku Rudi, juga.
Aku berangkat dari rumah sekitar jam 4 lewat. Driver ojolku sempat lama tiba, sedangkan aku nguber waktu janjian set 5 sudah ada di Stasiun Bogor untuk solat subuh dahulu, baru bertemu dengan Rudi dan anak-anak Bogor yang lainnya serta Uni yang sejak awal sudah janjian bertemu. Selain Rudi, peserta trip dari Bogor ternyata anak-anak cowok semua karena kupikir ada juga ceweknya. Aku akhirnya bertemu dan berkenalan dengan teman baru, ada Rahmat, Wildan dan Sandy (Momo). Mereka ini ternyata temannya Rudi. Akhirnya kami pun langsung menuju ke peron 2 untuk naik kereta dengan tujuan Jakarta Kota, tapi kami turun lebih cepat nantinya di Stasiun Manggarai untuk lanjut transit ke Stasiun Tanah Abang, lalu lanjut ke Stasiun Rangkasbitung.
Sepanjang jalan, kami tidak banyak mengobrol karena duduk berjauhan dan memutuskan untuk tidur di perjalanan untuk menghemat energi juga sebelum perjalanan panjang yang akan kami lakukan. Aku memang tadinya janjian sama Dudul karena katanya dia juga mau ikut mengantar aku. Meskipun aku sempat bilang “enggak jadi, gapapa aku berangkat sendiri aja karena ada banyak teman barengan.” Lalu tadinya Uni juga berencana hanya mengantar sampai Manggarai, tapi akhirnya jadi bablas ikut sampai Rangkasbitung juga. Jadilah yang ikut saat itu ramai sekaliii. Seru memang jadi banyak yang ikut dan terasa seperti sedang study tour saja perjalanan berangkatnya hari itu.🤣
Kami sempat ngobrol-ngobrol, tidur, ngobrol-ngobrol foto-foto dan membuat konten juga. Oh iya, di perjalanan, di Stasiun Kebayoran ada peserta lain yang ikut naik dan bertemu kami dan ternyata itu Kak Tya. Tergopoh-gopoh, Kak Tya membawa Carriel di punggungnya dan akhirnya Rudi bangun dari duduknya dan mempersilakan Kak Tya yang duduk. Lalu mengalirlah dengan apa adanya komunikasi dan koneksi kami. Meskipun kebanyakan dari kami baru saling bertemu pertama kali, tapi entah mengapa suasana begitu cair. Kami mengobrol dan sesekali bercanda. Perjalanan dari Tanah Abang ke Rangkasbitung yang memakan waktu sekitar 2 jam jadi tidak terasa lama.
![]() |
Foto-foto di perjalanan Mita & Uni |
Jujur ya, aku baru pertama kalinya melakukan perjalanan sejauh itu di jalur green line. Dulu aku hanya akrab sampai stasiun Kebayoran. Atau mentok-mentok ke Sudimara, Jurangmangu, dan Serpong saja. Ternyata perjalanan menuju Rangkasbitung itu sangat memanjakan mata. Pemandangannya bagus. Masih naik KRL Commuter, tapi rasanya seperti sedang perjalanan dengan kereta api lokal seperti ke Bandung atau ke daerah Jawa Tengah dan Timur.
Sesampainya di Stasiun Rangkasbitung, kami pun langsung menuju ke luar. Kami sempat menunggu di kursi tunggu dekat pusat charger hp untuk bertemu dengan peserta lainnya yang sudah tiba. Setelah sekitar 15 menit, akhirnya aku pun harus berpisah sementara dengan Uni dan Dudul yang mengantarkanku sampai Rangkasbitung. Setelah ini, aku benar-benar akan melanjutkan perjalanan ini ‘sendirian’ tanpa mereka. Sebelum berpisah, aku sempat memeluk Uni. Uni hampir menangis aku juga hampir ikutan menangis. Wkwkwk. Tentu saja rasanya sedih karena trip ini harusnya jadi trip yang kita lakukan berdua, tapi akhirnya malahan aku yang bisa pergi sendirian.
![]() |
Foto bersama sebelum 'dilepas' 2 support systemku xD |
Terjadilah momen titip-menitip itu pada akhirnya. Dudul menitipkanku pada Rudi, aku menitipkan Uni pada Dudul. Rudi pun menitipkan Uni ke Dudul. Setelah berpisah dan dadah-dadahan. Uni dan Dudul pulang kembali Stasiun Tanah Abang lanjut ke Stasiun Manggarai untuk ke Jakarta Timur dan Bogor.
Selanjutnya, dimulailah perjalanan soloku ke Baduy inii. Yuhuuu…
Tanpa banyak kata, aku dan yang lainnya langsung gercep keluar Stasiun Rangkasbitung untuk bertemu yang lainnya dan langsung naik angkot ke Terminal Ciboleger. Dari H-1 sampai saat itu, perasaanku berkecamuk. Aku excited, tapi di sisi lain ternyata ada sedikit kehampaan juga karena dua orang support system yang harusnya menemani, tapi belum bisa ikut di trip ke Baduy di hari itu.
Setelah bertemu di Alf*mart, kami pun langsung naik ke angkot. Luar biasa memang 15 orang + tas ransel dan cariel tumplek dalam satu angkot. Perjalanan dari Stasiun Rangkasbitung ke Terminal Ciboleger memakan waktu kurang lebih sekitar 1 jam, 30 menit. Tidak banyak yang kami lakukan di perjalanan itu. Kami hanya mengobrol, ada yang tidur, ada yang take konten video juga. Di sini memang kecanggungan masih terasa. Mereka yang sudah mengenal lebih dulu sebelum trip tidak ada kecanggungan sementara yang baru bertemu pertama kali masih banyak diam dan menebak-nebak langkah untuk berkomunikasi satu sama lainnya.
Sesampainya di dekat Terminal Ciboleger, angkot kami tidak bisa naik sampai tepat di Terminalnya karena emang luar biasa ramai sekaliiii di sana. Tidak kebagian parkir bahkan tidak bisa jalan mendekat. Memang bertepatan dengan libur panjang serta hari-hari terakhir sebelum Baduy ditutup total selama 3 bulan karena ada acara adat Kawalu sejak 1 Februari sampai 1 Mei. 2025 Pada perayaan Kawalu, masyarakat Kanekes atau Baduy menggelar upacara adat sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Hyang Kares atas hasil alam yang telah diberikan. Masyarakat Baduy melakukan puasa.
Di Terminal Ciboleger, kami istirahat sebentar, makan, shalat, sampai mempersiapkan diri sebelum memulai perjalanan menuju Baduy Luar hingga mengakhiri perjalanan dan menginap di Baduy Dalam.
***
Berkunjung ke Baduy Luar dan Perjuangan Panjang Menuju Baduy Dalam Dimulai
Kami memulai perjalanan sekitar jam 14.00 WIB. Tiket masuk ke Baduy seharga Rp5.000. Pada awal masuk ke kawasan Baduy Luar, kita disuguhkan dengan rumah-rumah warga yang menjual berbagai produk khas Baduy dan rumah-rumah. Sebetulnya saat itu aku kurang bisa menikmati suasananya karena memang ramai pengunjung. Dari arah yang baru mau naik dengan pengunjung yang baru turun. Akses jalannya hanya satu jadi harus saling bergantian. Awal-awal masih oke, meskipun sudah disambut oleh gerimis. Jalannya juga masih oke, meski mulai tampak batu-batunya yang licin terkena hujan. Aku masih excited, walau sudah mulai terasa ngos-ngosan. Di tengah perjalanan, mungkin setelah melewati jembatan bambu yang masih masuk di kawasan Baduy Luar, jalan sudah semakin menanjak dan semakin sangat alami. Konturnya sudah mulai beragam, tidak hanya batu, tapi sudah ada tanah merah dan akar-akar pohon juga. Di sinilah perjuangan diriku ini mulai terasa.
![]() |
Foto bareng Kak Tya sebelum terpisah krn aku melambat wkwk |
Aku memang yang pergi sendiri mulai-mulai merasa mental ngedrop. Awalnya aku berangkat bareng Kak Tya, tapi entah bagaimana di jalan aku jadi terpisah. Kak Tya duluan sementara aku di belakang… sendirian. Walau sebetulnya tidak benar-benar sendirian karena ada peserta yang lain. Aku yang mulai struggling dengan sepatu yang terasa licin pun mulai makin melambat.
Di saat itulah, untungnya ada Kak Tiara dan Kak Gusti. Ada jalur berbatu yang cukup licin dan akhirnya aku dibantu Kak Tiara. Aku pegang tangannya dan gandengan tangan aja sepanjang jalan. Dibantu turun dan jalan serta dibimbing langkahnya. Berkali-kali Kak Tiara meyakinkan kalau aku aman karena ada dia yang pegangin dan yang di belakang ada Kak Gusti. Beberapa kali aku hampir terpeselet juga. Karena ditemani Kak Tiara di sini aku cukup mendapat suntikan semangat. Aku merasa tidak benar-benar sendirian.
Setelah mungkin sekitar 5 jam berjalan dan tentu saja sudah banyak berhentinya, aku mulai merasa ada yang aneh dengan diriku. Smartwatch yang dipinjamkan Dudul juga mulai intens bergetar, napasku mulai makin tersengal. Dadaku sesak dan rasanya seperti mau meledak. Akhirnya aku putuskan untuk berhenti mengambil napas dan istirahat. Terlebih mulai terasa pusing juga. Rasanya aku kayak mau pingsan. Belum lagi jari tengah kaki kiriku juga mulai terasa keram. Kurasa karena tadi full menahan saat turunan licin tadi.
Di situ rasanya aku benar-benar ingin menangis. Kutahan sekuat tenaga. Rasanya berkecamuk. Rasanya ingin menyerah, rasanya enggak enak karena diriku jadi menghambat rekan setim di perjalanan ke Baduy kali itu. Berkali-kali aku hanya bisa minta maaf ke Kak Tiara. Berkali-kali juga Kak Tiara meyakinkan kalau enggak apa-apa, santai aja, pelan-pelan aja. Justru dia enggak bisa kalau meninggalkan rekan timnya gitu aja katanya. Wah, di sini keren bangeeeeeeeeeeet siiih pemadu dan pihak open trip yang aku ikuti pertama kali ini.
Selain perjuangan dengan sepatu licin, aku juga berkelahi dengan kondisi diri saat kram di jari kaki kiriku muncul dan semakin mmembuat lambat gerakanku. Akhirnya Kak Tiara bantu mijitin dengan membalur minyak juga. Kondisi diri yang kewalahan dan enggak baik di kaki yang aku rasakan. Berkali-kali juga aku berusaha tabah dan menguatkan diriku. Berkali-kali juga aku mengeluh pada diriku sendiri. Namun, berkali-kali juga aku mengatakan pada diriku sendiri, “ya Allah aku bersyukur atas keindahan alam ciptaanMu. Atas seizin dariMu mohon kuatkan aku sampai menyelesaikan perjalanan yang sudah aku mulai ini.”
Meskipun perjalanannya sangat enggak mudah, bahkan terbilang sangat sulit bagi diriku. Namun, aku jatuh cinta untuk pertama kali dengan Baduy. Di perjalanan itu pun, aku semakin merasa mencintai Tuhanku. Aku merasa ditarik untuk berkesadaran untuk menyadari sekaligus menikmati setiap sulit yang harus aku hadapi. Aku kembalikan semua lagi ke napas. Aku kembalikan lagi juga ke surrender kepada Allah. Tiada daya dan upaya selain atas izin Allah.
Kupikir perjalanan itu jadi perjalanan yang magis buatku. Saat diri rasanya lemah, tapi di saat yang bersamaan tumbuh juga rasa syukur dalam dada. Kesulitan dengan jalur dan kondisi diriku sendiri membuat aku melambat. Aku belajar legowo terhadap diri sendiri dengan tidak memaksakan kondisiku juga. Si anak keras kepala ini harus bisa sabar dengan diri sendiri. Perjalanan ke Baduy hari itu mungkin terbilang lambat. Banyak istirahatnya, terlalu santai juga awalnya. Namun, tetap saja aku kewalahan menyamakan langkahku dengan yang lainnya. Rasanya seperti aku berkelahi dengan diriku sendiri; fisik, pikiran, dan kekalutan mental yang dialami.
Aku termasuk rombongan terakhir yang mencapai jembatan perbatasan Baduy Luar dan Dalam. Saat itu hari sudah semakin gelap. Mulai tidak terlihat apa-apa hanya mengandalkan cahaya dari headlamp yang ada di kepala Kak Tiara. Lagi-lagi aku hanya mengandalkan gandengan tangan dengan Kak Tiara. Sejak awal, kami saling percaya dan saling menguatkan kalau aku akan baik-baik saja dan aman.
Setelah menyebrang jembatan dan sudah mulai masuk ke kawasan Baduy Dalam, tim kami berhenti sejenak untuk istirahat, doa bersama sembari briefing singkat kalau jalan beriringan bersama-sama karena hari pun sudah malam. Mungkin saat itu sekitar jam 19.00 WIB. Karena saat menuju maghrib aku dan Kak Tiara masih jalan bergandengan di trek turun karena sepatuku licin. Nah, saat akan mulai treking di Baduy Dalam dan lewat “tanjakan cinta” tadinya rencana urutannya tuh selang seling cewek-cowok. Awalnya aku masih agak di depan-depan, aku masih berusaha sekuat tenaga untuk menyelesaikan perjalanan yang aku mulai ini sejak jam 4.00 WIB dari rumah, di Bogor.
Di awal sampai pertengahan di tanjakan yang sungguh pedas sekaliii, awalnya aku masih full dibantu sama Kak Tiara lalu setelah itu sama Kak Gusti. Sampai akhirnya aku menyerah mengikuti ritme mereka. Di pertengahan, akhirnya aku berpisah dengan mereka. Apalagi Kak Tiara dan Kak Gusti memang harus mengejar sampai di atas karena harus masak makan malam. Sementara aku juga tidak kuat kalau memaksakan diri mengikuti ritme mereka. Akhirnya aku mulai makin melambat kecepatannya. Apalagi jari tengah kaki kiri yang sempat kram sebelumnya pun mulai terasa sakit lagi. Ditambah aku juga sudah mulai merasa pusing juga karena kelelahan. Akhirnya aku mundur ke tim paling belakang. Jujur, itu tanjakannya sangat curam dan “pedas” di kaki dan di dada. Aku sering merasa sesak dan seperti hampir kehabisan napas. Langkahku sudah semakin berat dan kian melambat.
Sudah tidak terhitung beberapa kali ngos-ngosan dan napasku terasa berat. Akhirnya aku memutuskan jalan di belakang dan jadi tertinggal dari tim sebelumnya. Alhamdulillahnya, di belakang masih Ada Rudi, Rahmat, Wildan. Awalnya ada Bang Amar juga, tapi di pertengahan dia sudah jalan lebih duluan. Mungkin mengejar sekaligus mendukung tim lain juga. Akhirnya, ketiga cowok itulah yang menemani aku di belakang. Oh iya, kami memang total berlima belas dengan lebih banyak cewek dibanding cowoknya. Cowoknya hanya 7 sementara ceweknya ada 8.
Di saat itu, aku benar-benar merasa bersyukur sekali banyak yang mendukung dan baik ke aku. Sudah trekking lebih dari 5 jam terus terang mentalku sudah drop, badan juga sudah kelelahan. Rasanya ingin sekali menyerah. Rasanya ingin sekali aku bilang, “aku sampai di sini aja deh ya, gak lanjut lagi ke Perkampungannya gapapa. Gak kuat. Asli.”
Enggak kehitung juga berapa kali aku ber-istighfar sampai-sampai dari sore tuh aku sudah menahan tangis karena merasa jadi beban buat banyak orang. Di satu sisi aku juga mau cepat juga ikuti kecepatan yang lain, tapi di sisi lain aku enggak bisa mengejar. Dadaku sesak dan sepatuku licin. Sementara kalau kekeuh maksa jalan sendirian pun aku enggak mau. Bisa saja aku keras kepala, tapi pada kenyataannya memang aku butuh bantuan.
Perjalanan ke Baduy Dalam membuatku belajar juga untuk meletakan rasa tidak enakan aku. Saat itu, aku mengakui kalau aku sangat membutuhkan orang lain. Memang perjalanan ini harus aku selesaikan–sendiri, tapi akan lebih baik bila memang bersama-sama dengan yang lainnya. Tidak bisa aku keras kepala seperti biasanya ingin betul-betul sendirian hanya mengandalkan diri sendiri. Perjalanan kali itu juga aku belajar untuk menjadi manusia karena sejatinya manusia adalah makhluk sosial juga kan.
Aku bersyukur sekali dengan rekan-rekan seperjalananku saat itu. Bahkan mungkin teman yang sudah saling mengenal lama saja belum tentu bisa saling respect dan sesigap itu membantu. Ini bahkan kami baru saja saling mengenal dan memang senasib sepenanggungan di tanah orang. Baduy benar-benar membuatku belajar juga arti saling bahu membahu. Gimana mendukung satu sama lain. Saling menyelaraskan dan menjaga harmoni.
Berkat bantuan ketiga rekanku (Rudi, Wildan, Rahmat), Aku bertekad mau berusaha sekuat yang aku mampu. Aku menolak menyerah. Aku ingin menyelesaikan perjalanan yang telah aku mulai ini. Meskipun tetap memperhatikan kondisiku juga. Saat aku mulai merasa tidak enak dan berkali-kali minta maaf. Namun, mereka bertiga berkali-kali meyakinkan, “udah, Mit. Gapapa, santai aja. Pelan-pelan.” Bahkan Endri–salah satu anak Baduy pun berusaha menyamakan langkah denganku. Padahal bawaan dia juga berat dan cukup banyak.
Berkali-kali dia bilang, “gapapa kak. Bareng aja.” Bahkan sejak sore saat smartwatch yang aku pakai pun mulai getar-getar karena peringatan peningkatan heart rate. Ternyata tembus hampir 190. Pantesan ajaaa diperingatin banget. Oh iya, saat itu juga aku enggak sendirian banget sih. Ada Endri yang dengan sabar juga nemenin. Meskipun berkali-kali aku bilang duluan saja.
Di tempat istirahat terakhir yang masih di kawasan Tanjakan Cinta, Kak Tya mengecek kondisiku karena tau aku kelelahan dan sempat kram di jari juga. Bahkan mengcek tanganku dingin atau enggak. Pokoknya memastikan kalau aku baik-baik aja. Ya Allah, demi apa pun aku benar-benar bersyukur ada kehadiran rekan-rekan perjalanan yang baik hati di dalam perjalanan aku hari itu.
Rekan-rekan trip pun sigap nanya kondisi dan menawarkan air. Entah bagaimana ceritanya, yang lain akhirnya sudah pada duluan naik. Tinggal Aku, Rudi, Rahmat, Wildan yang menemani. Kami saling bantu satu sama lain. Rudi di kiri, Wildan di kanan, dan Rahmat di belakang. Wah, aku salut sekali sama mereka. Sigap sekali jagain aku. Saat aku butuh didukung setiap langkahnya karena treknya yang licin. Belum lagi ada Endri juga yang menemani kami bertiga juga. Kami benar-benar jalan di tengah kegelapan. Namun, entah yaa aku sama sekali tidak merasa takut, malahan biasa aja.
Setelah bermesraan dengan trek yang aduhai mantapnya di Tanjakan Cinta dan entah berkali-kali aku bilang “masih lama ya landainya?”, akhirnya kami tiba di salah satu Saung yang sepertinya rumah salah satu warga, kami sempat duduk istirahat dan ini cukup lama. Mungkin ini ‘pos’ terakhir sebelum sampai ke perkampungan warga. Di sini sebenernya sangat nyaman, kami banyak mengobrol dan mulai terasa ngantuk memang. Akhirnya aku menguatkan diriku untuk “ayoooo, lanjut lagi deh. Udah aman, insyaallah. Kan dikit lagi sampe juga..”
Aku dan ketiga rekanku itu akhirnya kembali melanjutkan perjalanan dengan jalur menurun, menanjak dan sangat becek, tapi setidaknya sudah lepas dari tanjakan cinta.
***
Jatuh Cinta dengan Baduy Dalam dan Belajar Hidup Berkesadaran & Selaras dengan Alam
Setelah perjalanan yang cukup panjang, akhirya sekitar jam 20.42 aku sampai di rumah Endri yang ada di Kampung Cibeo, Baduy Dalam. Bayangkannnn, hampir 7 jam trekking. Badanku sudah enggak karu-karuan rasanya. Sepatu sudah penuh dengan lumpur, badan sudah lengket dan basah kuyup karena keringat. Aku sudah duduk saja di teras depan rumah panggung bambu khas masyarakat Baduy Dalam. Akhirnya, alhamdulillah sampai juga. Rasanya pengin menangis karena akhirnya aku berhasil menyelesaikan perjalanan di hari itu. Apalagi dengan durasi perjalanan hampir 7 jam lamanya.
Di tengah rasa letihku dan aku yang masih sibuk mengatur napas dan menstabilkan kondisi. Aku duduk di teras kecil di depan rumah bareng Wildan dan Ahmad, Rudi berpisah di jalan dengan kami karena dipanggil duluan untuk turu ke sungai. Rasa letihku berganti dengan keharuaan saat sapaan hangat Ayah Endri memecah lamunanku.
Ayah menawariku minum, “mau teh anget, Teh?”
Masih ingat sekali tawaran Ayah dengan senyum hangatnya yang meskipun saat itu keadaan sekitar cukup gelap, tapi terasa sekali menghangatkan hati. Cepat-cepat Aku pun mengangguk mengiyakan.
Selang beberapa menit kemudian, teh hangat pun dibawakan Ayah. Disuguhkannya gelas bambu dengan teh manis hangat yang aromanya khas. Sepertinya karena air yang dimasak dengan kayu bakar sehingga ada aroma asap khas bercampur dengan aroma teh dan rasa manis yang aku sesap. Aku masih sedikit linglung dan tadinya ingin ikut turun ke sungai untuk membersihkan diri, tapi karena saran dari Ahmad dan Wildan yang menemaniku terakhir sehingga mereka tahu betul kondisi diriku yang sudah sangat kelelahan. Akhirnya aku putuskan hanya mengelap kakiku dengan tisu basah dan air dari bambu yang disediakan di luar rumah.
Fakta menarik ini yang baru aku temukan kalau masyarakat Baduy dalam menjunjung tinggi kebersihan sehingga kita harus membersihkan kaki kita dengan air yang ada di tabung-tabung bambu di luar sebelum masuk ke dalam rumah. Sebetulnya kebiasaan ini tuh tidak terlalu asing bagiku karena di keluargaku pun aku menerapkan ini. Semacam wajib cuci kaki dulu kalau habis dari luar sebelum masuk ke dalam rumah.
Badanku sudah agak gemetar. Kaki juga sudah lemas sekali akhirnya aku ganti baju dan rebahan sebentar di sebelah Kak Tya. Di sebrang ada Bang Amar yang sudah mendengkur dengan merdunya. Setelah beberapa lama, makan malam pun sudah siap. Aku dan yang lainnya pun segera merapat ke dekat makanan yang sudah tersaji di depan. Aku mencoba makan dengan piring daun yang dibuatkan Ayah untuk kami semua. Nasi hangat, ayam, sambal tomat. Sederhana, tapi nikmat sekaliii rasanya. Makan malam pun selesai, aku duduk sebentar dan beberapa orang mulai mengobrol dengan Ayah. Beberapa menit kemudian aku kembali tiduran dan baru bangun saat obrolan yang aku dengar mulai seru dan menarik perhatianku. Ayah menjawab berbagai pertanyaan dan rasa penasaran kami tentang Baduy dan kehidupan masyarakat Baduy dalam.
Setelah bangun dan ikut duduk, Aku lalu bertanya 1 pertanyaan karena memang penasaran sekaligus kagum dengan rumah alami masyarakat Baduy Dalam. Tampak natural, tapi terlihat kokoh juga.
“Ayah, punten, mau nanya. Ini kan rumah ini masih dibuat tradisional ya. Full bambu juga dan ada daun-daun juga. Kalau rumah Ayah ini berapa lama ya waktu pembuatannya?” tanyaku memberanikan diri.
Ayah pun menjawab rasa penasaranku, “Ini 2 harian selesai….”
Belum sempat Ayah melanjutkan semua terkaget-kaget mendengar penjelasan Ayah.
Akhirnya Ayah pun kembali melanjutkan, “soalnya dibantu banyak orang kan. Sama tergantung bahan dan peralatannya juga. Rumah Baduy Luar terlihat lebih rapi karena mereka pakai paku, sementara di sini (Baduy Dalam) sama sekali gak pake paku. Jadi semuanya hanya diikat-ikat saja.”
Aku pun mengangguk-angguk. Rasa penasaranku terjawab. Salah satu yang aku kagumi sejak pertama kali menginjakan kakiku di Baduy itu soal rumahnya yang sangat menarik. Menurutku bagus juga. Jujur, aku kalau bisa pengin sekali punya rumah yang masih tradisional seperti itu.
Banyak cerita dari Ayah yang menarik dan membuat kagum. Cara bercerita Ayah ini seru sekaligus menenangkan. Rasanya seperti sedang didongengkan sebagai pengantar tidur kami yang kelelahan. Malam itu rasanya hangat sekali karena bisa diajak mengenal lebih jauh tentang masyarakat Baduy, kehidupannya dan bagaimana lelaku hidupnya yang berlandaskan keselarasan dengan alam serta rasa syukur mereka atas berkah yang diberikan dari Yang Maha Kuasa.
Ada 2 hal yang menurutku menyentuh hatiku tentang bagaimana kehidupan masyarakat Baduy sebagai wujud khalifah di bumi yang memang memegang teguh perannya untuk menjaga alam dan kelestariannya tetap terjaga. Satu lagi tentang kesederhanaan, seperti kita terlahir ke dunia tidak membawa apa-apa. Meninggal pun kembali lagi ke tanah. Tanah, tempat bersemayam jasad-jasad yang sudah berpulang kembali ke Sang Pencipta pun dimanfaatkan kembali untuk menjadi ladang.
Setelah selesai sesi mengobrol dan keakraban itu. Kami semua bersiap tidur. Aku tidur paling pojok dekat Kak Tya di sebelah kiriku. Sementara sebelah kananku kosong dan hanya ada beberapa tas yang lainnya. Kami berlima belas tidur barengan di ruang tengah rumah Ayah. Aku menarik sarung cokelat Bapak yang aku pinjam. Aku menutupi kakiku dengan sarung dan berusaha untuk tertidur. Meskipun agak sulit karena yang aku lakukan hanya pindah-pindah posisi dari ke kanan, telentang, ke kiri. Terus berulang-ulang sampai akhirnya aku tertidur. Meskipun tidak pulas karena aku masih sadar dengan situasi di sekelilingku.
Aku terbangun saat suara alarm Kak Tya berbunyi. Mungkin di sekitar jam 03.00 WIB. Badanku juga agak menggigil kedinginan. Ternyata hujan cukup deras turun di luar. Suara rintiknya sangat terdengar sampai ke dalam. Aku meraih jaket tosca aku yang tadinya ditaruh begitu saja tidak aku pakai saat sebelum tidur. Aku menyelimuti diriku, badanku seketika menghangat dan aku kembali mencoba memejamkan mata.
***
Aku kembali terbangun sekitar jam 05.00 WIB, lagi-lagi karena suara yang ada di sekitar. Aku duduk dan aku lihat Kak Tya sudah banguh. Di luar rumah, masih terdengar rintik gerimis yang cukup deras. Kak Tya kebelet pengin pipis dan semacam bingung juga ya ke mana sungainya. Kandung kemihku pun sudah penuh, tapi di sisi lain kok ya rasanya mager banget yaa keluar di tengah hujan dan harus menebas jarak untuk turun ke sungai. Namun, kalau bukan sekarang mungkin aku tidak akan sanggup lagi menahannya dan belum tentu juga ada barengannya lagi. Akhirnya aku iyakan tawaran Kak Tya untuk ikut ke sungai. Waktu itu juga ada Rudi dan Bang Amar yang juga mau ke air.
Dengan jas hujan dan sandal yang ternyata lumayan licin sambil menggenggam senter merah muda yang aku pinjam dari Bapak, aku berusaha mengikuti langkah Kak Tya, Rudi, dan Bang Amar. Meskipun sering tertinggal di belakang karena aku mau memastikan langkahku aman meskipun lambat. Akhirnya aku dan Kak Tya ke sungai. Aliran airnya cukup deras dan berwarna kecoklatan. Mungkin efek hujan deras sehingga air itu bercampur dengan tanah.
Aku sudah tidak mikir itu air bersih atau kotor karena memang di situasi darurat. Mungkin karena bercampur dengan tanah dan lumpur, airnya jadi tampak kotor. Padahal airnya bersih aja itu karena alirannya mengalir deras gitu dari atas ke bawah.
Di Baduy aku belajar menghargai air karena di sana air tuh sepenting itu. Aku dan yang lain mungkin sudah terbiasa ya dengan berbagai kemudahan hidup yang kami terima di kota. Listrik-listrik ada, jadi tidak perlu gelap-gelapan dan membawa Senter atau lilin. Air tinggal muter di keran. Kamar mandi tersedia. Jadi, kayak gampang juga untuk bolak-balik ke air untuk kegiatan mandi, cuci, dan pipis atau pup. Sementara di sana, kami belajar untuk kembali ke alam. Tidak menggunakan listrik dan internet, tidak ada kamar mandi dan air yang tersedia di dalam rumah. Justru kamilah yang harus datang dan mengambil langsung dari sungai dan mata air yang sudah disediakan oleh alam.
Jujur tidak mudah, tapi di situlah aku belajar langsung cara hidup yang selaras dengan alam serta menghargai hal-hal kecil dalam kehidupanku yang mungkin luput aku syukuri karena terbiasa “dimanjakan” dengan kemudahan dan fasilitas yang ada di kota.
***
Setelah selesai urusan itu, aku dan Kak Tya sempat duduk sebentar di teras menikmati suasana pagi di sana. Sempat bingung wudhu gimana, tapi akhirnya kami meminta izin ke Endri untuk menggunakan air dari batang bambu yang untuk cuci kaki itu. Endri pun bergantian menuangkan ke Kak Tya dan aku untuk wudhu.
Setelah salat subuh awalnya aku sempat ingin tarik sarung lagi dan pakai jaket, tapi akhirnya aku urungkan karena diajak nongkrong dan bengong di teras luar. Akhirnya aku, Kak Tya, Wildan dan Rahmat duduk di luar menikmati suasana pagi.
Ayah menawarkan untuk membuatkan seduhan air hangat. Aku meminta dibuatkan jahe merah sama seperti Kak Tya sementara Momo menyeduh kopi. Aku mengambil roti sobek yang aku bawa untuk dimakan bersama dan jahe merah hangat di segelas bambu juga aku tawar-tawarkan ke Wildan dan Rahmat untuk diminum barengan.
Rasanya syahdu sekaligus hangat sekali kebersamaan kami semua di pagi itu. Langit yang masih kelabu, gerimis yang masih rintik jatuh dari langit pun tidak menghalangi kami untuk menikmati suasana pagi yang hangat di Baduy Dalam. Seperti rasanya sayang sekali jika harus melewatkan kesempatan ini. Kami saling menyimpan rapat dalam ingatan dan kenangan setiap hal yang kami lihat, alami, dan nikmati di Baduy Dalam.
Ada gunanya juga ya kami dilarang menggunakan hp karena di sanalah aku merasa bisa belajar untuk lebih berkesadaran dalam berbagai kegiatan, obrolan, kebersamaan dengan yang lainnya. Kalau saja bisa menggunakan hp kayaknya aku dan yang lainnya akan saling sibuk sendiri menatap layar hp kami masing-masing dan lupa untuk hadir utuh di momen saat itu yang bisa saja tidak akan terulang kembali.
Setelah lama bengong di luar serta sarapan dikit dengan roti dan air jahe hangat, kami semua kembali ke kegiatan masing-masing. Aku kembali ke dalam tiduran dan kembali mengobrol. Oh iya, sempat juga Ayah berpamitan akan ke ladang. Akhirnya kami satu-satu bergantian salim ke Ayah. Jujur yaaaa di sana tuh merasa disambut hangat sekali. Berasa punya keluarga lain di Baduy Dalam jadinya.
Gerimis masih turun cukup deras, tapi tidak menghalangi Aku dan yang lainnya untuk berkeliling di sekitar perkampungan Cibeo itu. Pertama ke Lumbung Padi, lalu pergi ke tempat menumbuk padi. Oh iya, di perjalanan aku dan yang liannya sempat melintasi satu area yang dibatasi dengan tali dan imbauan "dilarang melintas". Ternyata area itu adalah rumah tetua adat atau Kahuruhun di Desa Cibeo itu. Sambil berteduh di salah satu rumah, kami pun banyak mengobrol dengan Endri dan Rudi yang memberikan penjelasan singkat. Sebetulnya di Baduy Dalam itu ada beberapa desa, tapi yang biasanya terbuka menerima kunjungan dari orang luar memang Desa Cibeo. Sebetulnya aku agak tertarik karena ada Desa di Baduy Dalam yang fokus dengan pengobatan. Andai saja bisa, aku ingin sekali ke sana dan belajar tentang pengobatan karena aku memang tertarik dengan herbal dan rempah-rempah. Hal menarik lainnya juga ya di Baduy Dalam itu rondanya justru dilakukan siang hari karena banyak yang ke Ladang kan. Sementara, kalau di malam hari ronda bergiliran di lakukan justru di ladang untuk melindungi juga tanaman-tanaman dari hewan-hewan.
Setelah tur keliling singkat itu kami kembali ke rumah dan lanjut mengobrol sampai akhirnya sarapan pun sudah siap. Tersaji juga 3 buah durian yang sudah siap menunggu dieksekusi. Aku dan yang lainnya pun makan sarapan bersama. Ada nasi hangat, telur dadar, ikan asin, timun, dan sambal tomat kecintaan aku! 💚
Oh iya karena Ayah sudah ke ladang pagi-pagi sekali, sarapan pagi itu dengan piring daun yang dibuat Aja–Kakaknya Endri. Sementara saat makan semalam, piring daun yang kami gunakan rata-rata dibuatkan oleh Ayah.
Makan di sana tuh terasa nikmatnya dobel-dobel. Mungkin karena kebersamaan sekaligus kami makan dengan berkesadaran; menikmati setiap nasi dan lauk yang ada di piring daun kami.
Setelah sarapan, jeda beberapa waktu. Kami mulai mencicil packing barang-barang kami ke tas.
Setelah itu, kami mencicipi durian yang diambil langsung dari pohon Baduy Dalam. Rasa duriannya lumayan enak. Tidak terlalu manis dan tidak berbau menyengat. Aku mencicipi 2 biji durian dari varian yang berbeda. Satu agak pahit, satunya lagi lumayan enak.
Setelah itu, kami siap-siap untuk pulang turun. Sempat ada sedikit keributan saat kami membahas jalur turun. Tadinya mau kembali turun dengan jalur yang sama, tapi semua bersepakat menolak. Pada rada trauma kayaknya sama Tanjakan Cinta. Lalu mengusulkan untuk turun dengan jalur yang durasi turunnya bisa lebih cepat dibanding jalur Cibolegar kemarin. Jadi, kesepakatan pun tercapai saat semua bilang mau turun lewat jalur Cijahe sajalah biar lebih cepat juga.
Awalnya kami bersemangat karena ada iming-iming jalur lebih cepat untuk turun, tapi ternyataaaa kami semua belum tau apa yang akan dihadapi di jalurnya saat itu.🤣
***
Sebelum turun untuk pulang. Aku, Kak Tya, dan Kak Anggun memutuskan untuk turun ke sungai untuk pup.🤣
Ya, dibanding jadi kebelet di jalan kan repot yaa. Sebetulnya aku sudah mulai akrab dan terbiasa dengan kegiatan ke air yang harus turun ke sungai karena aku sudah 2x sebelumnya. 1x dengan Kak Anggun di malam sebelum tidur. 1x di pagi dengan Kak Tya. Lalu ketiga kalinya ini di tempat yang berbeda. Namun, ternyata yang agak mengusikku justru karena rombongan lain.
Kami bertiga memang turun semua ke sungai. Meskipun bergantian. Pertama Kak Anggun, terus Kak Tya. Lalu pas aku, ehhh pas kebenaran ada rombongan lain yang mau lewat jembatan yang mana pemandangannya langsung tertuju ke kami semua. Aku sangat paham sekali karena kami turun semua jadi enggak ada yang jaga untuk orang jangan lewat dulu. Ditambah jembatan yang melewati sungai ini jadi satu-satunya akses jalan sehingga pasti akan lewat situ. Cuma yang mengusikku adalah justru ledekan dari sesama orang kota di rombongan lain, yang mungkin niatnya bercanda, tapi bagiku tetap kurang etis.
Masa saat mereka lewat tuh sambil teriak-teriak bercandain kami dan aku sempat melihat beberapa tatapan aneh yang ditujukan ke arah kami. Sempat ingin mengamuk rasanyaaaa. Kayak justru masyarakat Baduy-nya saja sangat menghargai orang lain dan kegiatan turun ke sungai tuh bukan sebuah hal aneh yang harusnya “dibercandain” sih kalau kataku yaaa. Cuma akhirnya yaudah tuh kita selesai urusan di air dan langsung kembali dan siap-siap untuk pulang turun lewat Cijahe.
***
Perjalanan Pulang Dari Baduy Dalam Turun Ke Baduy Luar Lewat Jalur Cijahe Menuju Kembali ke Bogor
Oh iya, pas itu aku belum ganti baju. Masih pakai baju yang dipakai tidur. Elap-elap muka sama tisu basah aja dan pakai sunscreen. Terus mulai melanjutkan perjalanan turun dari Baduy Dalam ke Baduy Luar dan Terminal Cijahe. Aku dan yang lainnya mulai turun sekitar jam 09.30 WIB. Oh iya, keputusan untuk tidak dulu berganti baju itu yang patut disyukuri juga karena ternyata bajuku kotor semuanya saat berjuang turun lewat jalur Cijahe yang treknya tidak kalah aduhaiiii. Tanah dan lumpur yang lengket. Sepatu sudah terasa berat bahkan sepatuku sering nyangkut dan terjebak di tanah lumpur yang lengket sampai sering copot, terlepas dari kakiku gitu🤣
Meskipun masih kewalahan menghadapi jalur turun siang itu, tapi aku bersyukur sekali rombongan aku saat itu turun dari jalur Cijahe karena durasi tempuhnya lebih singkat. Meskipun tetap banyak ceritanya. Sepatu copot-copot mulu dari kaki. Celana dan sepatu penuh lumpur. Ada yang sendalnya copot pula lemnya. Enggak sedikit juga yang akhirnya nyeker kayak Rahmat dan Putri.Belum lagi juga Rudi, Rahmat, Wildan juga sempat terpeleset juga di jalur. Dan tentu saja aku juga hampir-hampir mau kepeleset juga. Padahal pas berangkat sudah sekali aku terpeleset sampai duduk.🤣 Nah, tapi alhamdulillah enggak sampai jatuh. Cuma emang agak-agak mau nyungsep mulu emang.🤣
![]() |
Jalur turun Cijahe yang tidak kalah aduhai |
Di perjalanan turun itu, kebanyakan aku mengandalkan diriku sendiri. Berusaha memguatkan diri dan menabahkan hati karena memang aku sadar masing-masing kami sudah sangat kelelahan. Meskipun masih perlu dibantu Rudi, Wildan, Bang Amar, Rahmat, dan Endri karena sempat juga aku kesulitan untuk turun dan naik di jalur yang cukup licin itu. Namun, aku bersyukur sekali juga perjalanan turun aku mampu lebih baik dibandingkan dengan berangkat dari Ciboleger. Di perjalanan berangkat aku bahkan enggak terpikirkan untuk berfoto, sementara saat turun di jalur Cijahe cukup banyak foto-foto di Baduy Luar yang aku dan tim aku abadikan.
![]() |
Foto keluarga dulu di saung Baduy Luar Jalur Cijahe |
![]() |
Cosplay jadi warlok XD (photo by @Triphobia) |
Akhirnya kami tiba di dekat jembatan terakhir sebelum benar-benar ke luar dari Baduy untuk naik ke mobil yang disewa. Saat itu ternyata sedang ada kerja bakti memperbaiki jembatan dari masyarakat Baduy Luar. Jadi, kami menunggu sambil beristirahat. Setelah itu, aku dan yang lainnya melewati jembatan dan betul-betul menyudahi perjalanan di Baduy. Akhirnya aku dan yang lainnya sampai di sebuah warung, kami jajan dan membersihkan diri juga. Mandi dan ganti baju dengan yang bersih dan naik kol buntung (mobil bak terbuka) untuk menuju ke pertigaan tempat angkot yang disewa menjemput. Wahhh. Ini enggak kalah seru! Kami banyak mengobrol, tertawa, dan aku juga ada banget juga ngantuk dan sempat memejamkan mata sebentar. Sekitar satu jam perjalanan, kami tiba di pertigaan dan langsung masuk ke angkot untuk kembali ke Stasiun Rangkasbitung.
Di dalam angkot meski masih sempat ada haha hihi juga, tapi akhirnya kebanyakan hening karena kami semua tertidur setelah kelelahan. Sampai di Stasiun Rangkasbitung mungkin sekitar jam 18.30 WIB dan disambut hujan yang lumayan deras. Aku dan Kak Tya sempat ke kamar mandi dulu dan ditungguin Rudi, Wildan, Momo. Awalnya kami sempat terpisah tuh karena ternyata yang lain sudah naik KRL duluan. Tadinya Rudi bilang untuk naik kereta yang selanjutnya saja kalau memang tidak keburu. Namun, kami ditelepon sama beberapa orang yang sudah naik kereta kalau masih keburu naik itu dan keretanya juga masih banyak yang kosong. Akhirnya kami secepat kilat jalan cepat menuju ke kereta dan terus berjalan ke depan melewati beberapa teman kami. Sampailah di gerbong 4.
Ada kejadian yang agak lucu juga sih bagiku karena sebelumnya tuh aku sempet kan bilang ke Rudi gini, “Rud, di Tanah Abang tuh gerbong mana sih yang pas turun deket eskalator? Pengin naik di situ aja deh.”
Terus Rudi bilang, “kurang tau euy, kayaknya gerbong 4.”
Dannnnn benerannnn naik di gerbong 4 dong🤣
Sampe Rudi tuh terakhir komen, “ini kita naik di gerbong yang si Mita pengen nih. Deket eskalator kan.”
Wahhh, ajaib memanggg. Manifestasinya langsung gercep diaaminkan Tuhan dan semesta. Alhamdulillah. Akhirnya selama perjalanan pulang dari Stasiun Rangkasbitung sampai ke Tanah Abang, kami banyak tertidurnya karena memang kondisi yang cape poll. Kak Tya yang berpisah karena turun duluan di Stasiun Kebayoran. Sementara aku, Rudi, Wildan, Rahmat dan Momo kembali melanjutkan perjalanan setelah transit di stasiun Tanah Abang dan kembali lagi transit di Stasiun Manggarai sebelum akhirnya naik ke KRL menuju Bogor.
Sesampainya di Stasiun Manggarai akhirnya kami janjian bertemu dan bareng lagi ke Bogornya dengan Kak Tiara & Gusti. Lalu juga Kak Anggun dan Bang Amar yang juga ke arah Bogor meskipun akhirnya berpisah di Stasiun Pondok Cina karena mereka turun duluan.
Pokoknya setelah lama berdiri, kakiku lemes juga dan aku mutusin duduk di pinggir. Alhamdulillah kami naik di gerbong kereta buntu gitu. Jadi memang tidak tersambung dengan gerbong lain sehingga tidak mengganggu penumpang lain. Apalagi kereta saat itu juga tidak terlalu penuh. Baru akhirnya di Cilebut kursi ada beberapa yang kosong dan aku duduk di sana. Tas aku tinggalin di pinggir saja sudah.
Baru-baru aku ambil dan persiapan turun setelah diinfokan akan bersiap masuk ke Stasiun Bogor. Setelah masih bareng-bareng sampai jalan ke luar. Akhirnya kami benar-benar berpisah di luar. Rahmat yang berpisah duluan di jalan karena harus ke arah parkiran motor. Lalu aku pun berpisah dengan Rudi, Wildan, Momo, Kak Tiara dan Kak Gusti lalu naik ke ojol yang sudah aku pesan.
Berkat ojol yang aku naiki agak mengebut, aku sampai rumah tuh sekitar jam 23.30 WIB. Menutup perjalanan itu dengan alhamdulillah dan mandi air panas yang minta dimasakin Bapak.
Luar biasa cape sekaliii. Badan pada sakit semua kayak habis digebukin🤣
Jalan juga pelan-pelan dan miring-miring sudah kayak bebek🦆 . Namun, aku enggak menyesal sedikit pun memilih tetap berangkat meskipun sempat ada pikiran untuk batal berangkat. Ternyata memang harus aku alami, cerna dan lampaui sendiri pengalaman dan perjalanan itu.
Berkesan sekali memang perjalanan ke Baduy ini. Dari mulai berangkat dari rumah di 26 Januari 2025 jam 04.00 WIB sampai sampai tiba kembali ke rumah di 26 Januari 2025 jam 23.30 WIB. Dengan perjalanan awal lebih dari 22k langkah dan perjalanan pulang lebih dari 13k langkah. Turun 10kg kah inii? Hahahaha.
Luar biasa sekaliiiiiii perjalanan dua hari 1 malam itu di Baduy. Aku mau berterima kasih sekaliiiiiii ke semua rekan-rekan perjalananku di hari itu dan para support system tersayangku. Uni dan Dudul aahhhh support system kesayanganku. Meskipun secara fisik mereka hanya bisa mengantarkanku sampai stasiun Rangkasbitung. Namun, bantuan, semangat, serta doanya benar-benar terasa di sepanjang perjalananku dan membuatku merasa selalu aman.
Penyelenggara open trip kali itu, @Triphobia.id wahhh luar biasa tripnya. Sambel tomatnya pun enak! Hatur nuhun pisan segala bantuannya dan dokumentasinya selama trip ke Baduy.
Pokoknya, Terima kasih banyak ya semuanya atas bantuannya selama di Baduy: ngeback up, ngecek kondisi, ngefotoin juga. Makasih Kak Tiara & Kak Gusti yang bantuin banget back up pas berangkat. Kak Tiara sampe gandeng tangan dan ngasih tau pijak2an mana aja yg gak licin buat sepatu yg emang ternyata licin🤣
Mamang Rudi dan kawan2 perbodorannya; Wildan, Rahmat yang udah bantuin & nemenin selama menuju perkampungan di malam hari itu sama di perjalanan turun dan di krlnya. Sama kebodoran-kebodoran kalian yg bikin lupa rasa cape yg lg dirasain 🤣
Kak Tya yang bantuin back up juga selama ini sana. Sesama dateng sendiri eh akhirnya malah jd temen perjalanan baru😍
Kak Amar juga bantuin banyak di track & juga banyak bikin ketawa di kolbun krn tingkah dan drama celananya🤣
Hany yg juga nyemangatin selama di track. Aku inget banget dua kali kita saling sendirian dan ketemu di tanjakan gitu. Terus kita saling liat-liatan dan dia bilang, “semangat, Kak!”
Kak Anggun, temen barengan ke air dua kali pulaaa 🤣
Pengalaman yg seru juga ke sungai 🤣
Kak Olive yg bantuin foto & memantik suasana di kolbun jd banyak haha hihinya. Asli siiih, kalo gak waktu itu memberanikan diri ikutan foto, kayaknya aku gak akan punya foto yang proper juga karena berkelahi dengan kondisi diriku sendiri.🤣
Kak Prima & Kam Putri yg ngecekin kondisi di track juga. Terus sore-sore bareng ke bilik untuk pipis. Sama kalian paling semangat juga nih buat “Ayo kak, bilang aja lewat Cijahe kak. Kakak kan kemaren aja kesulitan kan di track. Biar lebih cepet juga pulangnya, Kak.”
Kak Sandy aka Momo juga makasih yaa udah bantuin naik ke kolbun. Wkwkwk meskipun si Kak Momo ini emang sangat tertutup sekaliii diaa.
Pokoknya makasih banyak yaa semuanya rekan-rekan trip ke Baduy 25-26 Januari 2025 atas bantuannya selama di Baduy. Mohon maaf lahir dan batin juga yaa kalau ada salah kata dan perbuatan selama trip di sana yaa! Pokoknya hatur nuhun pisan. Meski rata-rata baru pertama kali bertemu, tapi bondingnya kerasa pisan euy. Bener-bener senasib sepenanggungan lah. Keren pisan rekan-rekan trip urang.
***
Terima kasih, Baduy!
Aku menyimpan kenangan perjalanan dua hari satu malam di Baduy itu rapat-rapat dalam ingatan dan hatiku. Rasa bahagianya. Hidup berkesadaran, selaras dengan alam dan saling berhamoni dalam kedamaian dan kesederhanaan. Wah, luar biasa sekali rasanya.
Asli yaaa kalau kataku mah yaa minimal sekali seumur hidup kamu harus coba untuk berkunjung ke Baduy dan mengalami sendiri pengalaman magisnya seperti apa. Bahkan rasanya sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Baduy, luar biasa indah pelajaran dan pengalamannya memang!
Perjalanan ke Baduy kemarin buatku seperti perjalanan spiritual juga. Setiap langkah yang aku tapak, setiap tarikan udara yang aku hirup, setiap embusan napas yang aku keluarkan aku berusaha menyadari kehadiranNya. Dari tiap-tiap kesusahan yang aku alami, dari tiap-tiap bantuan dari rekan seperjalanan dua hari satu malam itu yang kuterima. Setiap kebaikan kecil yang dilakukan sesama. Aku menyadari dan menumbuhkan rasa syukurku jauh lebih dalam lagi.
Tiap-tiap pohon, tanah, air, sungai yang mengalir aku melihat dan menyadari kehadiranNya yang senantiasa selalu dekat sekali. Selalu sedekat urat nadi. Selalu sedekat tiap tarikan napas dan embusannya.
Setiap embusan angin lembut yang menyentuh kulit wajah dan tanganku. Rasa segar yang dibawanya juga. Aku bener-bener merasa jatuh cinta berkali-kali dengan Sang Pencipta. Bersama kesulitan selalu ada kemudahan. Apa yang harus aku khawatirkan lagi bila hidup adalah tentang berusaha terus melanjutkan perjalanan dan pulang kembali padaNya sebagai tujuan?
Maa Syaa Allah, seru sekali baca cerita panjangnya tentang perjalanan kamu ke Baduy Dalam. Alhamdulillah jadi pengalaman menyenangkan yang tak terlupakan dan semoga bisa memotivasi kamu untuk terus semangat menjalani hidup 💚
BalasHapusbtw izin nimbung, atas kuasa Allah, air sungai termasuk dari 7 air yang suci-mensucikan, jadi walau air sungai keruh kecoklatan, itu tetap suci untuk dipakai bebersih dan berwudhu. Semoga ini jadi reminder kedepannya ya 🤗
Masyaallah, terima kasih komentarnya dan ilmunya Uniii. Insyaallah terus semangat untuk menjadi lbh baikkk lagiii. 💚🤗
Hapus