Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Merasakan Slow Living dan Hidup Berkesadaran di Desa Sukajaya, Jonggol

Merasakan slow living di desa sukajaya jonggol bogor

Guys, Aku mau cerita, di weekend 10-11 Mei 2025 kemarin, Aku berkesempatan untuk main ke Jonggol. Bukan mencari bapak seperti yang Wakwaw lakukan, tapi dalam rangka rehat sebentar dari penatnya rutinitas perkantoran yang kadang membuatku merasa kehilangan esensiku sebagai manusia. Ajakan Tiara untuk main ke Saung Barokah di Jonggol suatu malam di Kedai, langsung aku iyakan. Ditambah setelah Tiara menunjukan foto-fotonya. Sebuah saung yang berbentuk rumah panggung, terasa tidak istimewa, tapi ternyata di sanalah banyak cerita dan keseruan di satu hari, satu malam yang tidak akan pernah aku lupakan sampai kapan pun. Akan tersimpan rapat di dalam ingatan dan hatiku.


Saat merencanakan trip ke Jonggol ini di Kedai Kudai, aku memang meminta untuk ikut ke mobil Gusti dan Tiara untuk barengan. Pertimbangannya karena di perjalanan terakhir ke kafe di pinggiran Bogor yang jalurnya perbukitan dan menanjak pun, motor Dudul tidak kuat dan alhasil canvas rem rusak. Akhirnya di sepanjang perjalanan pulang saat turun jadi terpaksa mendorong motor. Namun, entah bagaimana ceritanya, akhirnya tidak jadi membawa mobil. Lalu diputuskan iring-iringan motor saja biar seperti touring. Bermodal bismillah, jaminan dari bengkel setelah service, dan sedikit modal nekat. Aku dan Dudul jadi pakai motor saja. Itu pun setelah galau karena tadinya sempat tergoda ingin pakai kendaraan umum atau taksi online bareng dengan Uni. Meskipun akhirnya tidak jadi dan tetap naik motor saja berdua. Pertimbangannya karena Aku dan Dudul memang sedikit khawatir kalau-kalau sulit mendapatkan kendaraan di perjalanan pulang di Jonggol nanti. 


Saat pembahasan sebulan lalu, memang semua yang hadir saat itu, antusias mau ikut. Rencana awalnya juga kami akan pergi di tanggal 17 Mei 2025. Namun, ternyata dimajukan jadi tanggal 10-11 Mei 2025. Tentu saja dari awal rencana ikut semua penghuni grup “Membumi Baduy” ternyata ada beberapa orang yang berhalangan ikut di perjalanan kali itu. Bang Amar, Kak Anggun, Kak Tya, Prima, dan Putri tidak jadi ikut. Oh iya, di H-1 keberangkatan juga Rahmat menginformasikan juga kalau tidak jadi ikut. Meskipun awalnya sempat ingin ikut, tapi ternyata tidak mendapat tukeran jadwal dengan temannya di hari keberangkatan (Sabtu). Jadilah yang ikut di perjalanan kali itu ada Aku, Dudul, Tiara, Gusti, Wildan dan Istrinya–Fira, Momo, Rudi. Itu yang akhirnya jadi rombongan touring motor dadakan yang berangkat iringan dari Bogor. Olive dan pacarnya–Aray yang di mobil dari Jakarta Barat. Menyusul Unidzalika yang memutuskan naik kendaraan umum (ojek online) dari rumahnya di Cibinong.


Rencana awal tadinya aku sama Dudul juga mau pergi sendiri saja, tapi kami memilih rute lewat Jl. Raya Jakarta Bogor, tapi ternyata akhirnya di hari H memutuskan ingin barengan dengan rombongan motor. Janjianlah di belokan Summarecon Bogor. Perjalanan awal dari Bogor bisa dibilang lancar, meskipun sempat ada adegan cari-carian di dekat Summarecon Bogor. Setelah tektokan chat dengan Rudi dan saling mengirim live location di Whatsapp, akhirnya aku dan Dudul bertemu rombongan dua motor lainnya yang ternyata sudah lebih dahulu sampai di titik tunggu itu (Wildan, Fira, Rudi, Momo). Disusul motor Gusti dan Tiara yang diboncengnya. Sampai di jalan Cimahpar dan menuju Babakan Madang sebetulnya masih cukup aman. Namun, ternyata mulai jauh-jauh berjalan ke jalur alternatif sentulnya ada kendala tak terduga yang terjadi. Dari mulai jalanan terlalu sempit, truk tidak memberikan jalan pada motor aku dan Dudul sehingga kami dan di belakangnya motor Wildan dan Fira itu ketinggalan di belakang dan agak nyasar karena salah belok. Sampai ternyata di daerah wisatanya macet parah tak terhindarkan. Harus bergantian jalur. Di sini juga agak kepisah sama Wildan dan Fira karena mereka duluan saat menyalip kendaraan di depan. Sementara itu, motor di belakangnya termasuk motor yang dikendari Dudul dan Aku tidak bisa mengejar.


Semua masih berjalan normal dan baik-baik saja sampai di satu daerah kalau tidak salah ingat, Gunung Pancar dengan jalanan yang menanjak di dekat perumahan warga. Sebenernya jalan ini masih terbilang aman. Tanjakannya belum terlalu curam dan motor Dudul juga bisa-bisa saja nanjak, apalagi sudah sempat dicek ke bengkel sehari sebelum perjalanan. Namun, karena macet, alhasil motor depan aku sulit naik. Jadilah motor Dudul yang ikut tersendat tepat di tanjakan. Ini menyebabkan motornya jadi terlalu dipaksa digas sampai mentok tanpa henti untuk bisa nanjak padahal sudah kepayahan. Berimbas pada motornya jadi tidak kuat dan jadi korban dalam drama macet di tanjakan. Di sinilah awal mula drama motor itu terjadi. Setelah agak panik dan termyata motor pun berasap, akhirnya Dudul berhenti sebentar setelah di tanjakan. Awalnya semua orang di rombongan masih pada nungguin dan memang ikut istirahat. Setelah beberapa saat, mereka memutuskan untuk duluan karena takutnya bikin macet saat jalanan memang sempit dan jalur di sebelah juga macet. Mereka bilang akan menunggu aku dan Dudul setelah jembatan setelah tanjakan dan turunan di depan. Dudul memutuskan belum bisa menyusul yang lain lebih cepat karena memang masih panas motornya dan asapnya juga masih ada.


Setelah cukup lama beristirahat, akhirnya perjalanan pun dilanjutkan. Namun, dengan kondisi tetap motor tidak bisa dinaikin. Jadilah, Aku sama Dudul mendorong motor ke atas lalu menuruni turunan yang lumayan terjal dengan susah payah sambil mendorong motor untuk sampai di titik pertemuan dengan yang lain. Setelah berjalan lumayan lama dengan latar tatapan orang-orang yang sedang antri macet di jalur sebelahnya serta wajah keheranan orang-orang yang cuma kepo tanpa membantu. Akhirnya kami sampai di warung setelah jembatan tempat yang lainnya menunggu. Aku dan Dudul yang sudah kepayahan dan ngos-ngosan pun ikut istirahat sebentar sambil mengademkan motornya Dudul.


Setelah beberapa saat, mungkin sudah sekitar setengah jam, tampak yang lain sudah pada resah, belum lagi ada kabar Uni sudah sampai di dekat Curug Niagaranya dan agak kesulitan mencari lokasinya. Jadi, tampaknya perjalanan itu memang kembali harus dilanjutkan. Aku dan Dudul peka. Cuma Dudul merasa motornya belum bisa dilanjutkan jalan karena masih panas ngebul. Akhirnya Dudul meminta Tiara, Gusti, Rudi dan Momo duluan. Ada keraguan dari Momo. Momo sampai berkali-kali bilang, “bener gak apa-apa ditinggal? Bener gak apa-apa duluan ini?”

Aku yang tidak terlalu mengerti motor, tapi memang rasanya pengin ikut juga melanjutkan perjalanan akhirnya hanya bisa diam pasrah. Jauh di dalam hati rasanya memang tidak yakin. Namun, aku berusaha meyakinkan diri sendiri juga kalau bisa dan tidak apa-apa juga pelan-pelan. Akhirnya Dudul menjawab, "iya, gapapa duluan aja. Motornya masih ngebul ini." Terus terang, aku memang rada berat hati memang. Cuma aku merasa lebih gak enak kalau ditungguin dan jadinya kayak menghambat yang lain. Jadi, ya sudah aku ikut saja keputusan Dudul karena aku percaya dia. Kupikir juga mending kita menyusul sendiri saja nanti dengan santai sesuai dengan kondisi motornya nanti. Setelah itu mereka duluan.


"Pokoknya usahain sampe sebelum maghrib ya, sebelum gelap." Kata Momo.

"Pokoknya kalau ada apa-apa, kabarin ya, Mit." Rudi menimpali.

"Kak Mita, duluan ya, pokoknya berkabar ya, Kak." Ujar Tiara.

Aku membalas dengan anggukan, lalu menjawab, "iya, siap."


***


Sekitar 15 menit kemudian, Aku dan Dudul lanjut jalan lagi. Kami sepakat kalau motor tetap tidak usah dinaikin dan didorong saja lagi. Ini karena setelah Dudul cek sebelum berangkat ternyata di depan masih ada tanjakannya yang curam sekali, motor pasti masih tidak kuat. Apalagi macet. Jadi, yaaa semangat deh yaaa tiba-tiba hiking lagi --padahal ini bukan gunung-- sambil bawa beban mendorong motor. Wah, di sini sih nelangsanya wkwkwkkwk. Bayangin nanjak di tanjakan curam cuma bawa badan sendiri aja tuh sudah sulit, ini ditambah motor. Keputusan berat yang awalnya dengan yakin kupilih, tapi di pertengahan jalan cukup aku sesali juga karena tanjakan pedes, nanjak bawa beban diri sendiri plus motor sungguhlah dobel melelahkan.


Memang awalnya Dudul bilang buat aku jalan sendiri aja, dia aja yang bawa motornya. Motornya juga memang dinyalain sambil digas, tapi tetap saja diriku ini tidak tega. Aku tau sekali dia sendiri aja kepayahan membawa beban tubuhnya sendiri di tanjakan. Apalagi ditambah motor kan. Jadi yaudah aku gapapa banget. Kayak emang susah senang, ditanggung bareng-bareng lah ya namanya juga perjalanan. Sebetulnya, di jalur sebelahnya yang macet jadi tidak bergerak, tapi tidak ada satu pun yang bantuin. Cuma ada satu bapak-bapak yang nanya ada apa, terus nanya kondisi kami, dan akhirnya memaksa memberikan 2 air mineral kecil ke kami. Padahal sudah kami tolak, karena sebetulnya masih ada. Itu saja, tapi tidak ada satu pun yang mau bantuin dorong motor kami di tanjakan. Semua hanya sibuk bertanya kenapa dan ada apa, tapi satu pun tidak ada yang tergerak buat bantuin. Sediiiih :”)


Saat mulai kehabisan napas di tanjakan, Dudul meminggirkan motor di antara jalur sebelahnya yang sedang mengantre turun, tapi di sinilah drama lainnya. Aku bilang buat agak naikin posisi motornya ke tempat yang lebih stabil jangan pas persis di turunan karena memang motornya turun. Aku nahan motor Dudul dari belakang dan Dudul menarik rem sekuat-kuatnya. Di sini sempat ada perdebatan wkwkwk. Dan emang agak heboh karena aku agak sedikit berteriak panik, “ini motornya mau turun. Ini motornya mau turun. Agak naikin kesanaan dikit biar gak ngegelosor.” yang dibalas Dudul dengan, “iya, ini makanya remnya gak aku lepasin karena kalo dilepasin turun motornya ini.”


Dua orang panikan yang meskipun aku sudah berusaha tidak panik, tapi tetap saja panik juga. HAHAHA. Ada kali perdebatan cukup lama terjadi antara si Perempuan Libra Girls dengan lelaki Aquarius perkara motor yang mau turun. Setelah beberapa lama saling berbalas panik dan berisik berdua, barulah ada rombongan di kolbun yang notice dan bilang mau dibantuin tidak, tapi masih ragu-ragu juga mereka tuh buat langsung action membantu. Seorang laki-laki dalam rombongan itu sudah turun setelah diminta rombongan timnya untuk bantuin kami.


Baru saja dia turun dan mau bantuin, tapi terus ada satu warga lokal yang turun dari arah tanjakan, Aa gitu. Ini dia yang bantu ngatur jalannya juga deh sebelumnya. Akhirnya Aku dan Dudul minta tolong ke Aa itu. Sebetulnya minta tolong didorongin sih karena kami berdua sudah kelelahan. Namum, tidak menyangka ternyata justru Aa itu membantu dengan mengendari motor Dudul dengan sangat cekatan. 


Padahal sebelumnya kami hanya menanyakan sekaligus bilang mau ke bengkel dan motornya Dudul akhirnya motor dibawain sampe atas (bengkel) sama Aa itu. Alhamdulillah. Meskipun sempat agak khawatir juga motor dibawa duluan sama Aa itu yang akhirnya membuatku agak memaksakan diri. Ya, apalagi untuk buru-buru sampai di atas. Sudah eungap, deg-degan banget, hampir kehabisan napas, dan kaki sakit banget karena tanjakannya pedes, tapi tetep aku paksain saja. Kupikir setidaknya harus ada salah satunya, maka aku mengambil peran itu. Mengejar motornya yang sudah duluan sampai di atas (bengkel) karena aku sudah melihat juga Dudul kepayahan dan sepertinya lebih tidak mungkin baginya untuk buru-buru. 


***


Sesampainya di atas, aku dan si Aa tadi bertukar pandang, dan kulihat motor juga sudah terparkir di bengkel. Setelah itu, Aa-nya pamitan mau kembali memgatur jalan. Tak lupa aku ucapkan makasih ke Aa-nya. Dudul masih ketinggalan di belakang. Cukup lama aku menunggu sendirian di bengkel, tapi Aa Aa bengkelnya diem aja. Antara bingung atau dianggap aku tidak mengerti masalah motor kali yaa makanya tidak ada gitu ditanya satu kalimat pun. Meskipun betul sih aku memang tidak terlalu mengerti masalah permesinan kendaraan juga. Wkwkwk. Akhirnya pas Aa-nya tanya, aku bilang saja kendala yang aku alami dari mendengar obrolan para lelaki di depan warung tadi. 


“Kenapa motornya, Bu?” tanya Aa bengkel.

“Ini A, Canvasnya. Cvt-nya juga,” kataku mengulangi informasi yang sempat aku dengar sebelumnya.


Aa Aa bengkelnya agak memandang remeh sih yaa. Setelah beberapa lama, Dudul pun akhirnya sampai juga di atas.h Napasnya tersengal, kepayahan sekali memang laki-laki satu itu. Setelah beristirahat sebentar dan meminum air, Dudul cukup lama mengobrol dengan Aa bengkelnya. Yasudah, aku serahkan urusan permotoran itu padanya. Sambil menunggu motor dicek dan diperbaiki, kami melipir ke warung sebelahnya. Tak lupa aku ingatkan, “kamu ngomongnya coba disunda-sundain. Biar  disangkanya warlok.” 


Sering sekali aku bilang gitu ke Dudul. Soalnya aku pernah liat postingan orang di media sosial yang katanya ada orang yang kena getok harga bengkel gitu saat tahu kalau orang tersebut bukan warga lokal. Memang bukan di situ sih, tapi apa salahnya melakukan tindakan pencegahan ya kan. Meskipun entah ya ini Dudul melakukan saranku atau tidak. WKWKWK. Saat aku duduk di warung sebelah bengkel, Dudul menawarkan apa aku mau memesan minum es kelapa dan akhirnya aku iyakan dengan cepat. Kupikir es kelapa pilihan yang tepat untuk menghilangkan dahaga sekaligus menambah energi. Kami memesan dua batok es kelapa dan es batu di dalam gelas untuk memulihkan energi yang sudah habis-habisan terkuras padahal masih di seperempat perjalanan.


Sementara menunggu es kelapanya datang, Dudul beranjak pergi dan kembali mendatangi bengkel lagi, kalau aku ya duduk saja dengan manis menunggu sambil melihat suasana sekitar. Aku memperhatikan sekitar masih banyak mobil yang terkena macet dan sampai akhirnya berhenti. Cukup banyak rombongan-rombongan yang datang ke daerah situ hari itu.


***

Es kelapa pun akhirnya datang dan langit mulai semakin mendung, sekitar setengah jam kemudian, hujan mulai turun. Dari yang awalnya gerimis, berubah jadi hujan deras disertai petir kencang. Aku dan Dudul yang awalnya duduk di depan warung akhirnya memutuskan masuk ke dalam saung di samping warung untuk menyelamatkan diri dan barang-barang dari air hujan yang lumayan tampias karena terbawa angin juga. Setelah itu, Dudul menawarkan untuk memesan Mie yang aku iyakan karena memang lapar. Meskipun awalnya rencananya memang mau tetap makan begitu sampai di Curug. Namun, rasanya sudah mustahil itu merealisasikan rencana itu.


“Ayo makan dulu. Pesen Mie ya, mau yang rebus apa kuah?” tanya Dudul.

“Mau yang rebus deh satu.”

“Dua apa satu?”

“Satu.”

“Yakin? Laper banget kan pasti kamu. Udah masuk jam makan siang, apalagi tadi habis energi kamu dorong-dorong motor dan nanjak-nanjak juga.” 

“Yaudah deh, boleh 2 pake telor yaaa. Makasih sayang.”


Sekitar 15 menit, mie kami akhirnya siap. Satu mangkok penuh mie akhirnya tersaji di meja. Satu mangkok mie kuah pakai telur punyaku, dan satu mangkok lagi mie goreng punya Dudul. Akhirnya kami memutuskan mengisi tenaga yang sudah terkuras di tanjakan dan turunan karena harus mendorong motor. Kami mengobrol banyak, membicarakan lagi tragedi yang tadi terjadi. Padahal sebelumnya Dudul sudah masukin motornya ke Bengkel dan dipastikan aman, tapi ternyata jalanan macet dan pas tanjakan motor depan tersendat yang membuat motor Dudul juga kena imbasnya. Di sini Dudul sudah mulai-mulai ragu untuk melanjutkan perjalanan. Berkali-kali aku berusaha membesarkan hatinya, berusaha meyakinkannya kalau bisa kok ini perjalanan dilanjutkan sampai lokasi. 


“Kalau ternyata motor gak kuat, kita pulang aja yuk?” ajak Dudul. Memang ada ketidakyakinan dan keraguan si Aquarius yang demen overthinking itu.

“Ih, jangan dong. Kuat pasti. Lagian udah setengah perjalanan. Tanggung laaaa, masa pulang lagi sih,” kataku agak sedih.

“Ya kan kalau enggak kuat motornya gimana?”

“Bisa kok bisa. Yakin aku.”

“Yaudah kita liat dulu aja ya setelah ini dan apa kata Aa bengkelnya.”

“Okeeeh.”


Hujan mulai mereda. Motor pun ternyata sudah selesai diperbaiki ada CVT atau apalah gitu yang diganti. Aku dan Dudul kompak menanyakan ke Aa bengkel apa motor bisa kuat dipakai sampai Jonggol. Dijawab iya. Kami bercanda dengan bilang lebih tenang sekarang karena ada jaminan garansi dari yang punya bengkel. Disambut gelak tawa dua Aa bengkel yang sejak awal Aku dan Dudul temui. Tak lupa kami menanyakan tentang kondisi jalan menuju Jonggol yang akan kami berdua temui saat melanjutkan perjalanan. Katanya, setelah dari bengkel ini sudah tinggal turunan saja kok, tidak ada lagi tanjakan, enak kok jalannya. Ini juga deket kok, habis itu ya langsung ke arah Jonggol. Ini yang buatku merasa deja vu kayak jangan percaya dah ukuran “sebentar lagi” atau “deket” karena ternyata jauuuuh dan tidak semuanya turunan ada juga tanjakan. Hanya saja terbilang aman karena jalurnya yang tidak macet. Jadi, motor masih bisa nanjak dengan posisi miring-miring jalannya. Kebayang lah yaa. Ya, pokoknya gitulah.


***


Setelah melanjutkan perjalanan dengan iringan mobil Kolbun di depan yang mana ini nampaknya mereka rombongan mau trekking di Sentul, tapi akhirnya tidak jadi karena macetnya yang parah, akhirnya berpisah di jalan, Dudul memutuskan membelokan motor di salah satu masjid untuk ashar dan dzuhur yang sempat tertinggal waktunya. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan lagi dengan uber-uberan waktu untuk sampai di lokasinya sebelum maghrib. Berbekal mengandalkan maps, kami melanjutkan kembali perjalanan dan estimasi sampai sekitar jam 17.30 WIB. Artinya, masih aman sebelum maghrib.


Di sepanjang perjalanan sepi, gerimis juga, hanya ada beberapa motor yang lewat. Bahkan saat itu hanya ada satu motor yang berisi satu keluarga yang sempat bertemu di masjid sebelumnya. Setelah Dudul menyalip motor itu, tinggal motor kami saja yang ada. Baru di jalanan yang lebih besar ada kendaraan lain. Langit pun mulai menuju gelap pula karena mendung dan sudah mau masuk petang. Jadi, kami benar-benar buru di  jalan. Dudul fokus menyetir dan mendengarkan instruksiku dan aku yang fokus menatap layar maps dan melihat instruksi petunjuk jalannya. Sesekali aku teriak memberi tahu pada Dudul, apalagi bila motor kami harus berbelok.


Badan sudah terasa lelah memang, ditambah kami merasa mulai kehabisan waktu karena langit sudah semakin gelap. Mana jalanan mulai sedikit menyeramkan karena sepi. Namun, kami sempat agak salfok saat mulai melewati jalanan yang di sisi kanan dan kirinya sawah karena bagus bangeeeet. Beberapa kali aku mengucap, "masyaallah, bagus banget. Masyaallah bagus. Apalagi kalau pagi atau masih cerah kali ya ini."


Suasana sore pemandangan sawah di desa di Jonggol


Setelah puas menikmati, motor Dudul makin melaku masuk ke dalam kawasan Desa Sukajaya dan maps menunjukan arah untuk berbelok ke jalan kecil. Jujur ya, agak bingung karena diarahkan masuk ke jalanan kecil yang seperti tidak bisa dilalui motor dan hanya bisa dilalui oleh pejalan kaki saja. Setelah bertanya ke warga sekitar yang kebetulan sedang berkumpul di depan rumahnya, akhirnya kami blusukan melewati jalan kecil yang mana di sampingnya ada kandang embe. Ketemu jalan aspal, lalu bingung lagi ke mana. Apalagi maps menunjukan kalau kami sudah sampai di lokasi, Saung Barokah Haji Dadang. Namun, kami belum melihatnya di mana karena itu lebih seperti jalan ke tanah kosong. Sedang clingak-clinguk dan sempat juga ditegur warga mau ke mana, eh ada suara dari kejauhan yang memanggil. Alhamdulillah, akhirnya sampai juga. Aku dan Dudul datang sudah kelelahan dan disambut dengan lumayan meriah dan kelegaan dari teman-teman yang sudah tiba lebih dahulu. Memang cukup mengkhawatirkan sih yaa, kami hanya berdua saja dengan kondisi motor yang tidak oke.


“Akhirnya sampai juga,” kata beberapa orang.

“Duduk dulu deh duduk,” ucap yang lainnya menimpali.

“Minum dulu deh ini minum,” lanjut yang lain.


Setelah membuka jas hujan dan disambut pertanyaan "emangnya hujan ya? Hujan di mana?"

Setelah menjawab sedikit dan menceritakan perjalanan tadi yang lumayan luar biasa, aku langsung menjatuhkan badanku di teras bambu, duduk dan rasanya lelah sekaligus lega. Aku dan Dudul sampai tepat sebelum maghrib. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah. Terima kasih diriku dan Dudul. Perjuangan yang tidak mudah, tapi kita berhasil melaluinya. Meski harus menemui kendala dan lelah yang harus dirasakan.


Setelah minum, menjemur jas hujan dan jaket, istirahat sekitar setengah jam lamanya, Aku memutuskan untuk mandi lalu solat maghrib. Setelah semuanya solat, kami duduk dan berkumpul di teras, duduk dan mengobrol sambil menunggu waktu untuk acara meng-grill daging. Awalnya aku duduk di sebelah Dudul dan menyimak obrolan dari yang lainnya. Sampai aku sadar kalau ternyata aku perempuan sendiri dan dari arah dapur aku dengar suara Tiara, Olive, Fira, dan Uni yang mengobrol.


Aku memutuskan untuk mendatangi mereka di dapur dan akhirnya duduk di seberang Tiara dekat dengan tungku. Kami lalu mengobrol banyak, menceritakan pengalaman masing-masing tentang cinta dan hubungan. Setelah lumayan lama dan sebetulnya masih seru, tapi di arah teras tidak terdengar suara anak-anak laki-lakinya yang mengobrol. Akhirnya kami memutuskan untuk mulai acara meng-grill di sekitar jam 20.40 WIB.


Setelah mengatur peralatan, bahan-bahan, dan mengambil posisi masing-masing akhirnya kami mulai memanggang daging yang sekaligus adalah makan malam. Ngunyah-ngunyah, manggang, riweuh sama si Ajong (kucing motif mujaer yang memang kucing lokal di sana), dan kekenyangan.



Setelah kenyang dan segala peralatan sudah dibereskan sebagian dari kami mulai mencari posisi duduk untuk mengistirahatkan perut dan mengobrol. Sebagian lainnya membereskan dan mencuci peralatan di dapur. Aku banyak diam karena mulai mengantuk. Di tengah aku menahan rasa kantuk, tiba-tiba Momo mengambil posisi duduk di sebelahku dan tanpa tedeng aling-aling langsung bilang, “mit, sebetulnya gue mau nanya ke lu. Energi itu apa sih, Mit?”


Wow, sebuah intro yang agak bikin kaget dan bingung ya. Mataku langsung tidak jadi mengantuk lagi. Aku langsung menegakkan badan, memiringkan dudukku jadi menatap ke arah Momo. Akhirnya yaudah aku jelaskan semua yang aku tau lalu akhirnya kami diskusi banyak tentang energi, healing, meditasi, dan sedikit tentang spiritualisme. Aku menceritakan pengalamanku juga saat belajar meditasi, tentang self healing yang aku lakukan sejak 2021 melalui meditasi, tentang energi, dan sebagaiannya. 

Dari yang tadinya aku mengantuk karena kekenyangan dan kelelahan langsung jadi seger lagi mata karena pertanyaan Momo bikin aku mikir juga. Aku menyusun sekaligus mengumpulkan informasi dan ilmu-ilmu yang sudah aku pelajari tentang “energi” dan menyusunnya dalam pikiran sebelum aku menjelaskan ke Momo. Memang aku menjelaskan yang aku tau dan yang sudah aku pelajari, tapi jangan sampai jadi salah jawab juga ya kan. Namanya ilmu ya harus betul-betul diberitahukan dengan baik. 


Gusti, Tiara, Rudi, Olive yang duduk di depanku dan Momo hanya mengamati dan melihat sambil menyimak obrolan kami. Banyak yang mengernyit karena tidak mengerti yang kami bicarakan, ada juga yang memang menyimak dengan rasa penasaran juga. Setelah itu, obrolan berlanjut membahas sejarah Nusantara, dan lain sebagainya yang ditutup dengan membahas analisa mimpi dan sharing soal psikologi yang akhirnya dilakukan oleh Bapak Dudul. Dia yang tadinya diem aja dan mengantuk parah, tiba-tiba jadi segar karena anak-anak menyinggung topik yang merupakan bidang keilmuannya semasa kuliah. Obrolan mulai cair, banyak haha-hihi-nya, momen itu mulai saling merasa lebih dekat satu sama lainnya. Justru ini aku merasa lebih dekat dibanding saat perjalanan ke Baduy kemarin.


***


Di tengah obrolan yang semakin seru dan bounding satu sama lain yang mulai terjalin erat berkat deep talk yang berlatar suara jangkrik, mataku sudah mulai terasa berat karena kantuk. Bisa jadi ini juga efek kelelahan di perjalanan, akhirnya Aku dan Dudul mundur dari obrolan dan masuk ke dalam saung. Aku tidur dekat Fira yang sudah tidur duluan, dan Dudul mengambil posisi tidur di ruang solat yang ternyata Momo dan Rudi juga ikut bergabung tidur di situ setelahnya. Jadi, memang tidurnya diatur supaya muat, tapi tetap terpisah antara laki-laki dan perempuan. Meskipun anak-anak perempuannya diberikan ruang yang cukup lebih lega untuk tidur. Jadilah, berjajar tuh dari mulai Tiara di pojok depan pintu, Aku, (tadinya) Uni, Fira, Olive. Baru di seberangnya ada Aray, Wildan dan Gusti yang katanya tidur di teras. Oh, iya, ternyata Uni ini katanya pindah jadi di depan pintu di kaki kita semua karena katanya enggak bisa tidur di antara aku dan Fira yang tanpa sadar kami mendengkur saat tidur. Ya, namanya juga kelelahan ye kan.


Setelah agak susah tidur karena mungkin belum terbiasa di tempat baru, aku pun akhirnya bisa tertidur. Mungkin di sekitar jam 02.00 WIB baru bisa tidur. Tidak terasa pagi pun datang, aku terbangun agak kesiangan sih memang di hampir jam 06.00, lalu buru-buru ke kamar mandi untuk menyelesaikan urusan pencernaan wkwkwk dan sekalian wudhu untuk salat subuh yang agak kesiangan itu. Setelah selesai semuanya, Uni ngajakin untuk duduk di teras berjemur dan mungkin meditasi. Akhirnya aku mengambil posisi di sebelah Momo untuk berjemur, sun gazing, dan meditasi singkat. Pagi hari di Jonggol terasa hangat. Vibes yang aku rasakan memang seperti sedang pulang kampung ke rumah Nenek gitu. Suasana dan saung tempat menginap yang masih tradisional semakin membuat suasananya kian terasa seperti sedang pulang kampung. 

***


matahari pagi di desa yang menghangatkan


Aku memanggil Uni untuk bergabung di teras. Setelah semua anak-anak bangun dari tidurnya, Tiara mengajak kami semua untuk jalan pagi ke sawah dan sungai yang disambut keceriaan oleh semuanya. Setelah jalan pelan-pelan menikmati suasana di jalan antara sawah di kiri dan kanannya. Aku tidak henti-hentinya kagum dan bilang masyaallah, terima kasih ya Allah. Karena perjalanan ke Jonggol kali itu ternyata seperti sebuah manifestasiku yang juga tercapai.


suasana desa sukajaya jonggol


Aku ingin sekali tinggal di Desa, menjalani hari-hari slow living, yang aku lihat hanya sawah, gunung, sungai. Pagi-pagi jalan dan menikmati suasana desa. Di perjalanan itu, semua terwujud. Saat itu, rasanya aku lupa akan semua kesulitan yang sempat dirasakan di perjalanan. Kali itu juga, aku menyadari kalau usaha tidak mengkhianati hasil. Meski perjalanan berangkat terbilang sangat melelahkan dan menyusahkan, tapi dihadiahi pemandangan pagi di desa dan bisa merasakan slow living di desa tu masyaallah sekali rasanya, luar biasa bahagia.


slow living suasana di desa sukajaya jonggol bogor


Setelah berjalan cukup lama dan sempat menyapa dua Ibu warga sekitar yang sedang juga berjalan kaki. Setelah puas berjalan kaki di antara hamparan sawah dan pemandangan gunung dan matahari, akhirnya kami sampai di sungai.


Main di sungai di desa sukajaya jonggol

Kami melakukan kegiatan yang kami suka masing-masing di sungai. Ada yang turun ke sungai kayak Uni yang duduk di pinggir sungai dan langsung menceburkan kakinya dan Wildan yang berenang. Aku main-main di pinggir sungai menikmati suasana dan suara aliran air yang mengalir lumayan deras sambil mengabadikannya dalam foto dan video di ponsel. Dudul di mana? Jangan ditanya, sibuk dengan mainannya dia tuh. Dia sudah memisahkan diri sejak awal dan mencari berbagai angle untuk memoto mainannya. Sementara yang lain ada yang di pinggir sungai duduk, ngobrol. Main di sungai ini lumayan healing bagiku juga. Karena main di alam tuh bagian dari grounding juga. Apalagi saat mendengar suara aliran air yang cukup deras di sungai, sedikit membasahi kaki, dan menyentuh kerikil dan batu di pinggir sungai. Kegiatan main di sungai itu ditutup dengan mendokumentasikannya dalam foto dan video. Oh iya, kami juga membuat semacam foto  ̶k̶e̶l̶u̶a̶r̶g̶a̶  bareng-bareng di sungai dengan Drone-nya Gusti. Fotonya bagus-bagus. Berasa lagi photo shoot sih memang. WKWKWK.


Foto barengan di pinggir sungai di desa sukajaya jonggol


Setelah puas mengeksplorasi sungai dan sawah, kami akhirnya juga sempat menyapa dan melihat Ibu dan Bapak yang sedang memanen padi, lalu mengolahnya jadi semacam padi ini dirontokan dengan dipukul-pukul ke alat yang dibuat tradisional agar terpisah dari batangnya.


Proses pengolahan padi secara tradisional di Desa Sukajaya Jonggol Bogor
Proses pengolahan padi di Desa Sukajaya, Jonggol (Dok: Drone Gusti)

Seru sekaliiii melihat proses pengelolaan beras yang masih tradisional dilakukan. Sentuhan tangan dan ada proses berkesadaran juga di situ. Melihatnya sendiri membuatku harus lebih menghargai setiap makanan yang tersaji dalam sebuah piring karena ada banyak usaha dan jerih payah dari banyak orang. Aku harus menghargai itu dengan memakannya penuh kesadaran.


***

Setelah berjalan cukup jauh, sebelum kembali pulang ke Saung, kami sempat mampir di jembatan gantung dan foto-foto di sana. Kurang lebih total berjalan pagi hari itu, lebih dari 8.000 langkah di perjalanan berangkat dan pulang kembali ke Saung. Rekor terjauh aku jalan kaki selain saat perjalanan ke Baduy di Januari lalu. Sampai di Saung kami mulai dengan kegiatannya masing-masing. Meskipun sebagian besar masih sama, masih berkumpul di teras. Aku memutuskan mandi setelah sudah adem badan dan tidak berkeringat lagi dan lalu duduk di teras dekat dapur dan membantu Tiara yang memang selalu bertugas untuk memasak. Aku menyiapkan bahan-bahan untuk membuat mie yang ternyata jadi salah satu lauk untuk ngaliwet. 


Ngaliwet barengan di saung di desa jonggol


Setelah bahan disiapkan dan semua disusun, kami pun makan pagi sekaligus jadi makan siang bersama. Setelah itu, aku sempat mencicipi rujak uleg yang sambalnya dibuat Wildan dengan pepaya agak mengkel, tapi manis sekali yang dipetik Mang Ebet dari kebun di dekat saung. Wah, ini rujak terenak yang pernah aku coba deh. Rasanya beda sih memang, buahnya segar, dan sambalnya juga pas. Jago juga nih ya Wildan bikin sambelnya. Valid berarti nih yang Fira bilang kalau Wildan tuh emang enak katanya sambel rujak dan pecel bikinannya.


Setelah duduk beberapa lama untuk menurunkan makanan, aku mulai merasa mengantuk. Hari udah semakin panas, tapi rasanya mengantuk sekali di tengah hari itu. Akhirnya aku memutuskan tiduran yang berakhir ketiduran. HAHAHAHA. Akhirnya Aku, Uni, dan Fira tidur siang dulu tuh sebentaran. Lumayan sejam kami tidur. Lalu siap-siap untuk pulang karena Aku dan Dudul memutuskan pulang duluan. Uni dan Rudi juga karena mereka bareng Olive dan Aray juga yang memang harus pulang duluan karena ada acara lainnya. 


Itulah awal mula sebuah penyesalan itu hadir di sanubari aku dan Dudul karena memutuskan pulang duluan. HAHAHA. Terlepas dari semua kendala dan cobaannya di perjalanan pulang dan berangkat. Macet, aku juga merasakan gejala mata kering saat traveling, tapi jujur jauuuuuuuuuuuuuuuuh lebih seneng dan puasnya dibanding rasa tidak nyamannya. Aku merasa ingin kembali lagi ke Jonggol, hanya saja yang bikin aku agak memikirkan ulang adalah untuk naik motor dan pergi di liburan panjang. Terus terang, tidak sanggup aku dengan macetnya dan kendala motor yang harus dialami. Belum lagi, jalan di sana yang didominasi perbukitan itu bikin aku merasa memang harus pakai kendaraan yang kuat dibawa ke medan seperti itu. 


Aku juga bersyukur dari perjalanan kemarin itu aku merasa banyak dapat pertolongan Allah melalui orang-orang baik yang ditemui di jalan. Sesederhana seorang bapak yang memberikan 2 botol air mineral, Aa yang membantu membawa motor sampai atas ke bengkel. Ada Aa yang memberitahukan kalau baiknya jangan lewat jalur itu karena jakul bukit dan banyak tanjakan saat di perjalanan pulang dan momen nyasar itu. Ditutup ada Aa di Desa yang baik hati membantu kami menunjukan jalan yang benar saat mencari jalan pulang ke arah Citereup.


Iya, fakta ini yang akhirnya bisa aku ceritakan karena sudah dilewati juga. Awalnya mau disimpan saja sebagai sebuah rahasia karena khawatir bikin kepikiran orang-orang. Namun, dipikir, ini bisa jadi cerita menarik sekaligus bahan sharing. Makanya, aku ceritakan. Di perjalanan pulang itu, Aku dan Dudul memang sempat disasarin sama Google Maps (kampret emang) dan ada kendala kehilangan sinyal juga di pertengahan jalan saat melewati kebun dan semacam hutan ya karena banyak pohon-pohon tinggi. Lalu, pas tanya ke Aa–warga lokal yang kebetulan lagi diem di motornya. Awalnya hanya tanya jalan, tapi ternyata si Aa nya ini tidak bisa berbicara bahasa Indonesia, hanya sunda. Aku mengerti sih dikit, tapi di tengah agak kalut ya cukup lama juga otak ini memproses. Awalnya, kami sudah bilang makasih dan kembali melanjutkan perjalanan. Namun, di tengah jalan, tidak menyangka karena Aa-nya nyusulin, dan minta kami untuk mengikuti saja motor dia karena mau ditunjukan jalannya sampai ke Jalan Raya besar. 


Wah, ini bener-bener bersyukur sekaligus terharu. Orangnya kelihatan tulus memang mau membantu. Kayak waktu kita nanya, dia ngasih tau sebisanya dengan bahasa sunda dan karena mungkin jalan itu adalah jalan yang lebih sering dilalui jadi dia lebih inget jalannya, tapi tidak bisa memberikan instruksi dan petunjuk arahnya dengan yakin. Namun, dibanding “melepas” kami berdua yang buta arah ini, dia memilih menolong membantu sampai betul-betul menunjukan jalan. Yang bikin terharu lainnya tuh, Aku dan Dudul pikir jalannya tuh deket gitu sampai ketemu jalan raya besar, tapi ternyata jauuuuuuuuuuuuuuuuuh bener. Wah, alhamdulillah, beruntung dibantu ditunjukan jalan yang benar. Jasamu akan terkenang, A. Setelah menunjukan kami ke dekat jalan raya, Aa-nya tuh langsung balik lagi. Artinya, dia sebenarnya tidak ke situ tujuannya, tapi bener-bener membantu. Ini terharu sih, ada hikmahnya juga disasarin Google Maps ke jalan perbukitan yang sepi banget orang karena ternyata di suatusi sempit pun, pertolongan Allah terasa dekat. Alhamdulillah. 


Perjalanan kemarin juga jadi kayak perjalanan spiritual sih buatku pribadi. Apa yaa, kayak cara untuk membuat hidup lebih berkesadaran. Merasakan juga Allah sedekat itu. Ditambah untuk percaya intuisi dan cara berpikir cepat untuk solusi. Perjalanan kemarin selain membuat hatiku penuh juga membuatku belajar lebih mencintai diri sendiri. Iya, seberapa besar dan kerasnya diri ini berjuang agar perjalanan kemarin berjalan dengan baik. Meskipun ada bumbu-bumbu yang harus dilalui agar perjalanan kemarin lebih berkesan dan penuh pelajaran yang berharga juga. Termasuk untuk mengandalkan diri sendiri dan jangan pernah ragukan intuisi.


Tidak mungkiri juga ya kan saat sudah menjadi manusia yang terbiasa “dimanjakan” teknologi sehingga semuanya mudah  saja. Ini yang akhirnya aku dan Dudul kontemplasi. Tanpa sadar juga kami sempat merasa jumawa juga.  “Ah, ada Gmaps ini. Bisa lah kita pulang berdua juga. Aman. Gampang.” Lalu di jalan ternyata malah disasarin maps 🤡, blusukan ke jalan desa yang sepi dan kanan kirinya masih kebun dan hutan. Jalan perbukitan yang ternyata tidak bisa dilakui dengan kondisi motor Dudul dan gimana membaca “pertanda” sih. Intinya kalau diri sudah kasih sinyal ragu mending diikutin dan jangan percaya maps! Sekali lagi, jangan percaya maps mentah-mentah! Oh, sama ini sih ternyata sebagai makhluk sosial kita tetaplah membutuhkan orang lain. Saat teknologi tidak bisa lagi dipercaya, akhirnya Aku dan Dudul lebih mengandalkan informasi warga sekitar.


Selain drama disasarin maps dan terlalu percaya sama maps dibanding intuisi sendiri juga ada drama hp Dudul dikira ketinggalan di warung warga, tapi ternyata ada dalam tas🤡. Ini juga jadi pelajaran sih buat jangan dulu panik. Ambil napas dulu, tenang dulu. Saat itu dua-duanya sama-sama lelah dan panik jadi tidak bisa berpikir jernih. Saat ternyata kembali lagi, taunya hp ada di tas dari tadi. Sudah mah jauh-jauh nanjak turun balik lagi ke warung dan aku ditinggal sendirian di motor wkwkwk. Ya, pokoknya memang banyak pelajaran berharganya yang akhirnya bisa aku bagikan dalam tulisan ini.


Tiada daya dan upaya selain atas izin dan pertolongan dari Allah. Terima kasih Allah atas bantuan dan pertolongannya selama perjalanan. Terima kasih warga Jonggol dan sekitarnya. Terima kasih diriku sudah kuat dan berusaha tabah dan sabar sepanjang perjalanan berangkat dan pulang. Terima kasih juga Dudul sudah sabar, kuat, tabah, dan jadi rekan perjalanan yang hebat. Mungkin di awal aku yang banyak back up dan sok kuatin kamu yang ragu untuk lanjutkan perjalanan, tapi kamu juga akhirnya menguatkan aku di perjalanan pulang saat aku sudah benar-benar kerkecamuk rasanya. Terus kamu juga yang ingetin buat kembali ke Allah saat kita sebagai manusia sudah di titik terendah dan terlemahnya kita. Kayak ikhtiar sudah dilakukan, tinggal memang tawakalnya. Setelah itu, memang jadi lebih tenang di perjalanan pulang meskipun mengalami drama yang tidak kalah bikin mental acak-acakan.


***


Merasakan slow living di Jonggol ini tuh aku merasa untuk hadir lebih utuh. Di sana aku sama sekali tidak membuka ponsel kecuali mengabari orang rumah saat sudah tiba dan saat akan pulang. Lalu hanya saat mengambil foto dan merekam video. Di sana juga lebih banyak mengobrol, rehat yang bener-bener rehat dengan hanya fokus pada aktivitas yang ada di saat itu, tidur siang, makan menikmati suasana desa. Pokoknya rasanya menyenangkan, ibarat kata ya memang agendanya tidak ngapa-ngapain. Pun ada acara ya acara nge-grill daging saat malam, jalan pagi ke sawah dan sungai, melihat aktivitas warga, dan ngaliwet. Sisanya ya betul-betul ngobrol, diem--bengong, bantu-bantu. Pokoknya rasanya menyenangkan sekali untuk tidak sibuk apa-apa dan hanya menikmati momen dan waktu.


Di postingan ini juga secara khusus, aku berterima kasih atas kehangatan, obrolan, dan keseruannya teman-teman membumi Baduy; Uni, Momo, Tiara, Gusti, Wildan, Fira, Olive, Array, dan Rudi.


Trip to Desa Sukajaya Jonggol


Trip Jonggol ini seru sekali~ Pokoknya harus dirasakan sendiri sih rasanya dan pengalamannya. Alhamdulillah banyak merasakan keseruan, dapat pengalaman dan pelajaran juga dan tanpa disangka juga manifestasi untuk merasakan slow living di desa dan main ke desa di Jonggol juga tercapai.


Semoga di trip selanjutnya jauh lebih baik dan menyenangkan dan semoga juga temen-temen lain yang saat itu berhalangan hadir bisa juga ikut. Sampai jumpa lagi di perjalanan selanjutnya yaaa! Pokoknya jangan pernah kapok ajakin Mita yaa, kalau memungkinkan waktunya dan Allah mengizinkan mah aku sih gas aja terus. 🛵💨


Mita Oktavia
Mita Oktavia Lifestyle Blogger yang suka menulis, melukis, bermain game, dan bertualang | Penawaran kerja sama, silakan hubungi ke hello.mitaoktaviacom@gmail.com

Posting Komentar untuk " Merasakan Slow Living dan Hidup Berkesadaran di Desa Sukajaya, Jonggol"